Fajar di Tepi Danau


Hello guys! Maaf udah lama ga posting. Sebentar lagi kan UN, jadi harus berusaha untuk keep focus. Anyway, cerita ini sebenarnya udah jadi sejak beberapa bulan lalu, sebagai tugas Bahasa Indonesia. didasarkan dari kisah nyata @itsgerardien (as Arabella) dan featuring @dandanisaa (as Denise). Ceritanya sebenernya agak random sih ya, tapi karena request dan supaya teman teman di atas (baca: Gerardien & Danisa) senang, di-post juga deh. 
Enjoy :)

Arabella meniup-niup kedua belah tangannya, berusaha untuk menghangatkan kedua belah tangannya yang serasa membeku.
Harusnya aku memakai sarung tangan, pikir Arabella. Udara musim gugur di Sydney memang sangat dingin. Apalagi jika dibandingkan dengan panasnya Indonesia.
Sekali lagi, Arabella menggosok-gosokkan tangannya dengan lebih keras. Berjalan dengan hati hati sambil memandang ke sekitar, mencari restoran cepat saji yang rasa-rasanya pernah dia lihat di sekitar sini.
Kenapa juga harus aku yang pergi membeli makanan? Pikirnya kesal. Paling tidak harusnya Evelyn juga ikut bersamaku, kan?
Ini adalah hari pertama Arabella berada di Australia, meski dia memang rutin mengunjungi Aunty dan Nana-nya, paling tidak setahun sekali. Tapi Arabella seringkali masih menemukan dirinya kebingungan dengan jalan jalan di sini. Memorinya akan jalan jalan di Sydney seolah ter-refresh saat kembali ke Indonesia.
Ah, itu dia.” Arabella mendesah lega saat melihat bangunan restoran cepat saji yang bersinar terang tak jauh di depannya.
Arabella membuka pintu restoran tersebut dan dengan terburu buru melangkah masuk. Tak menyadari seorang anak lelaki yang berjalan ke arah yang sama dengannya. Akhirnya Arabella bertubrukan dengan anak lelaki itu. Baki yang dibawa si anak lelaki bergoyang dan sukses menjatuhkan soda ke atas makanannya.
Astaga, maafkan aku!” Arabella menutup mulutnya dengan terkejut.
Anak lelaki itu menggumamkan sesuatu. Mungkin umpatan. Tapi Arabella tidak bisa mendengar kata-katanya.
A-akan kuganti makananmu.”
Si anak lelaki menghela napas dan menatap Arabella dengan sepasang mata birunya, “Aku bilang tidak apa apa.”
Ta-tapi...”
Kalau kau mau beli sesuatu, sebaiknya cepat. Toko ini sudah mau tutup.” ujarnya datar.
Eh, i-iya...”
Arabella terpaku menatap anak laki laki itu meletakkan bakinya sembarangan ke salah satu meja dan melangkah keluar.
Dia cute, pikir Arabella tanpa sadar. Dan syukurlah dia tak memintaku mengganti makanannya, uang yang kubawa kan pas-pasan.


Oke, kurasa sekarang aku benar benar tersesat. Arabella menatap sekelilingnya dengan khawatir. Dia berhasil membeli makanan pesanan adik dan sepupunya tepat sebelum toko itu tutup. Namun langit dengan cepat menjadi gelap dan sebelum Arabella sadar, dia telah tersesat di jalanan sepi yang dipenuhi pertokoan yang sudah tutup.
Sekarang bahkan baru jam 6 sore!” seru Arabella kesal.
Kalau di Indonesia sekarang pasti masih terang.” gumamnya lagi, merasa sedikit gila karena bicara pada dirinya sendiri.
Arabella meraih ponselnya dan berniat menghubungi Aunty-nya. Namun dia menjejalkan ponselnya kembali dengan frustasi.
Luar biasa. Aku lupa memasukkan sim card yang baru dan sekarang ponselku tak berguna.” omel Arabella. Dia terus saja mengomel selama beberapa saat dan akhirnya berhenti sendiri karena lelah. “Nah, sekarang bagaimana aku bisa pulang?”
Saat kekesalannya memudar, gelombang rasa takut menerpanya. Arabella menoleh kesana kemari, mencari orang untuk dimintai tolong. Beberapa kali, satu-dua orang lewat. Namun semuanya pria dan nampak seram, jadi Arabella terus saja berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Di sebuah belokan, lagi-lagi Arabella menabrak seseorang.
Ouch! Hey, hati-hati kalau jalan!” gerutu orang yang ditabraknya. “Kau lagi? Astaga, kau itu hobi menabrak orang lain atau apa sih?”
Arabella mengerjap kaget, itu anak lelaki yang ditabraknya saat di resto tadi.
Ma-maaf...”
Anak lelaki itu mengusap-usap bagian belakang kepalanya. “Lain kali hati hati.” gumamnya sambil melangkah pergi.
Tu-tunggu!” Arabella mencengkeram lengan jaket anak itu dengan depresi. “A-aku tersesat. Maukah kau membantuku pulang? Kumohon... aku sama sekali tidak familiar dengan daerah sekitar sini dan aku tak tahu lagi siapa untuk dimintai tolong.”
Anak itu terdiam sesaat, seolah menimbang-nimbang. Akhirnya dia menghela napas, “Baiklah.”
Ah? Sungguh?”
Iya, sekarang lepaskan cengkeramanmu.”
Eh, maaf...” Arabella dengan gugup melepaskan tangannya.
Di mana alamatmu?” Arabella menyebutkan alamatnya.
Oh, itu kan tidak terlalu jauh.” ujarnya sambil melangkah. “Ayo cepat, jangan sampai kau kehilangan jejakku juga, gadis kecil.”
Siapa yang gadis kecil? Pikir Arabella sebal. Umurmu juga tak mungkin terpaut jauh dariku. Memangnya salahku kalau aku kecil dan kau begitu menjulang?
Arabella menggosok-gosokkan tangannya lagi. Dirinya hampir tak bisa merasakan tangannya sendiri.
Anak lelaki itu melirik ke arah Arabella dan menghela napas lagi, melepaskan sarung tangannya dan mengulurkannya pada Arabella. “Nih.”
Arabella menengadah dengan terkejut untuk menatap anak itu. Dia hanya menatap Arabella dengan datar.
Pakai saja. Tanganmu sudah nyaris beku.”
Arabella tersenyum penuh rasa syukur, “Terima kasih.”
Anak lelaki itu hanya mengedikkan bahu, memasukkan tangannya ke saku, dan kembali melangkah.


Nah, itu perumahanmu.” anak lelaki itu menunjuk dengan dagunya. Kedua tangannya masih terselip di saku.
Ah, benar. Terima kasih banyak, eh...” Kening Arabella berkerut, menyadari dirinya bahkan tidak mengetahui nama anak lelaki penolongnya.
Peeta.”
Eh?”
Namaku Peeta.”
Peter?”
Peeta. P-E-E-T-A.”
Peeta? Seperti nama roti?”
Peeta mendengus, “Ya. Tapi bukan berarti kau bisa menaburiku dengan bumbu dan memakanku.” ujarnya sarkastis.
Arabella tertawa kecil. “Aku Arabella. Sekali lagi, terima kasih banyak atas bantuanmu.”
Peeta mengerutkan keningnya saat menatap Arabella lalu menggelengkan kepalanya, memaksakan seulas senyum. “Yah, selamat tinggal kalau begitu.”
Eh, sarung tanganmu?”
Peeta nampak menimbang nimbang, lalu menoleh sedikit ke arah Arabella. “Aku suka melihat mentari terbit di danau dekat Sydney Opera House... kalau kau benar-benar ingin mengembalikannya.”
Arabella mengerjap kaget, lalu tersenyum manis, “Baiklah. Sampai jumpa kalau begitu.”
Sampai jumpa.”


Peeta melangkah ringan di atas jembatan. Untuk pertama kalinya dalam enam bulan, dia melangkah dengan dengan begitu tanpa beban seperti sekarang ini. Pertama kalinya sejak Peeta kehilangan Denise.
Denise.... desis Peeta dalam hati. Meskipun enam bulan telah berlalu, perasaan Peeta masih tak keruan saat mengingat Denise. Denise. Denise-nya yang cantik dan suka tersenyum. Denise yang keras kepala dan kadang ceroboh. Denise yang memiliki tawa lebih indah dari kicauan burung burung...
Mengingat tawa Denise, entah kenapa juga mengingatkan Peeta pada gadis yang menabraknya kemarin. Arabella.
Ada sesuatu pada tawa Arabella kemarin yang mengingatkannya pada tawa Denise. Peeta tak mengerti bagaimana. Denise dan Arabella sangat berbeda. Denise bertubuh tinggi, dengan rambut cokelat muda dan kulit pucat. Sedangkan Arabella mungil, berambut hitam, dengan kulit cerah kemerahan.
Namun, Peeta merasakan sesuatu dalam diri Arabella yang membuatnya seolah melihat Denise kembali. Yang meringankan langkahnya karena dia bagai melihat Denise hidup kembali.
Peeta menghentikan langkahnya dan berpegangan pada jembatan. Matanya menerawang ke arah timur, lalu ke arah jam di tangannya. “Hampir jam 8.” gumamnya.
Hey.” sapa sebuah suara di belakangnya.
Peeta menoleh dan melihat Arabella tersenyum padanya. Wajahnya seolah bersinar tertimpa cahaya mentari terbit. Di tangannya tergenggam sepasang sarung tangan milik Peeta.
Peeta membalikkan tubuh sepenuhnya dan balas tersenyum. Mungkin... ini adalah saat yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru. Beriringan dengan terbitnya mentari, lambang kelahiran kembali.
Peeta melangkah ke arah Arabella, “Hei.”





Popular posts from this blog

Siapa Bilang 'Grepe -Grepe' Itu Nggak Baik?

The Lost Chapter of The Lightning Thief

Rick Riordan's The Kane Chronicles