Percy Jackson Fanfiction: First Encounter (part 1)
Lee
Lee menatap gadis kecil yang duduk mencakung di tepi sungai itu dengan
tertarik. Dia merasakan dorongan untuk mendekati gadis itu dan menanyakan apa
yang membuat wajah polosnya begitu muram. Namun pikirannya disentakkan oleh
panggilan sahabatnya, Alan.
“Hoi, Lee! Sedang apa kau?” tangan Alan menepuk pundak Lee, “Huh, siapa
yang kau pandangi? Gadis kecil itu? Ckck, tidakkah dia terlalu muda untukmu?
Usianya mungkin baru tujuh atau delapan tahun.”
“Dan berapa usiamu sendiri, Al?”
“Aku lebih dekat menuju tiga belas daripada kau.” ucapnya bangga.
“Oh, maaf, haruskah aku memberi selamat?” Lee mengangkat alisnya.
Alan menonjok main main pundak Lee, “Ah, sudahlah. Trent bilang dia sudah
menemukan tempat untuk kita beristirahat.”
“Oh, baguslah. Aku akan...” Lee menatap ke arah gadis kecil di tepi danau
tadi. Gadis itu sudah berjalan pergi.
“Heh, jangan membawa masalah pada gadis kecil itu.” Alan menarik lengan
Lee, “Kau tahu sendiri kita hanya akan membuatnya susah. Lebih baik dia jauh
jauh dari kita. Apapun masalah yang membuatnya muram seperti itu lebih baik
dari yang kita bawa.”
Lee mengangguk pelan. Tak ada masalah yang lebih buruk daripada yang dibawa
para blasteran dalam pelarian.
>>>>>
Arabella
Arabella menghapus lelehan air mata di pipinya. Dilemparkannya segumpal
tanah ke bayangan wajahnya sendiri di sungai dan bangkit menjauhinya.
Matahari sudah mulai tenggelam, Arabella harus segera kembali ke rumahnya.
Arabella benci pulang.
Saat memasuki halaman belakang rumahnya, Edith, pengasuhnya, sudah berdiri
sambil berkacak pinggang di pintu dapur.
“Arabella Deshoulieres! Sudah berapa kali kuberitahukan padamu bahwa kau
harus kembali ke sini sebelum matahari terbenam. Sekarang, lihat, apa matahari
sudah terbenam?” omelnya.
“Maaf.” ucap Arabella pelan dan berjalan melewatinya menuju dapur.
Edith mendesah, “Kau tahu, kalau kau begini terus aku bisa mencabut izinmu
untuk pergi ke sungai itu.”
Arabella tidak ambil pusing menimpali ucapan Edith, dia tahu pengasuh yang
setia pada ayahnya sejak masih kecil itu takkan tega mencabut izin keluarnya.
Edith sudah berkali kali mengancamnya seperti itu, namun dia tak pernah
melaksanakannya.
Arabella duduk di kursinya dan menatap meja makan, “Apa dia akan pulang
malam ini?”
Edith mendesah lagi dan meremas lembut pundak Arabella, “Dia tidak bilang
akan pulang. Dia masih harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”
“Dia bukan menyelesaikan pekerjaan, dia mencari wanita itu, kan?”
“Bella, jangan bicara tentang ibumu seperti itu.”
“Ibu? Ibu macam apa yang meninggalkan keluarganya begitu saja meskipun dia
tahu putrinya masih bayi dan suaminya takkan mampu mengurus segalanya sendiri.”
Edith menggigit bibirnya, dia tak mampu berkata apa apa lagi. Dia memang
tak tahu banyak soal istri Michael, dia hanya pernah bertemu wanita itu sekali.
Dia sangat cantik, mirip seperti Arabella, dan menurut Edith dia tak nampak
seperti wanita yang akan mencampakkan suami dan bayinya begitu saja. Namun, hal
itulah yang terjadi dan sejak saat itu dialah yang mengurus Arabella.
Masih lekat di pikirannya ketika malam itu Michael mengetuk pintu pondok
kecilnya dan memintanya tinggal untuk mengurus Arabella sampai ibunya
ditemukan. Saat itu Michael terlihat amat menyedihkan dan merana, Edith tak
tega melihat bekas anak yang pernah diasuhnya itu hingga akhirnya dia
mengiyakan.
Namun, setelah delapan tahun berlalu ibu Arabella tetap belum ditemukan,
dan Edith tetap tinggal untuk mengurus Arabella yang sudah dianggapnya seperti
cucu sendiri.
Edith akhirnya menghela napas dan bertanya pada Arabella, “Kau mau
kubuatkan susu cokelat lagi?”
Arabella mengangguk, “Ya, tolong.”
“Kau tahu, kau harusnya sudah bisa membuat susu cokelat sendiri sekarang.”
ujar Edith sambil sibuk menyiapkan susu cokelat untuk Arabella.
Seulas senyum mengembang di bibir Arabella, “Aku tahu, tapi aku senang
kalau kau yang membuatkannya untukku. Rasanya selalu jauh lebih enak.”
Edith menepuk pelan kepala Arabella, “Dasar, kau memang pandai sekali
bermanis manis denganku.”
Arabella tertawa kecil dan Edith merasa sedikit lega. Arabella tumbuh
menjadi gadis yang sangat pendiam dan muram tanpa perhatian kedua orang tuanya.
Hanya sesekali dia tersenyum atau tertawa seperti tadi, sehingga saat dia
melakukannya Edith merasa sangat lega, setidaknya masih ada beberapa hal di
dunia ini yang membuat gadis kecil itu senang.
>>>>>>>
Lee
“Persediaan makanan kita sudah menipis. Kau harus segera melakukan
'keahlianmu' itu lagi, Al.” ujar Trent.
Alan mengerang, “Ya, ya, tentu saja. Serahkan saja segalanya pada Alan, dia
kan putra dewa pencuri.”
“Kita tak punya pilihan, Al. Tak ada diantara kita yang mencuri jika
keadaannya tak mendesak. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan di sekitar sini,
tapi tak ada yang mau menerima anak usia 14 tahun, terlebih bocah bocah 12
tahun seperti kalian.” ujar Trent lagi, menepuk pundak rekannya.
“Ayolah, kawan, kau kan memang jago membobol kunci dan semacamnya. Itu
keren, loh.” Lee berusaha menyemangati sahabatnya. “Aku akan ikut denganmu.
Kurasa Trent tak apa apa jika ditinggal untuk berjaga sendiri di sini, iya
kan?”
Trent mengangguk, “Jika ada sesuatu yang terjadi segeralah kembali ke sini,
jika harus berpencar kita akan bertemu besok pagi pukul 7 tepat di belakang
restoran yang tadi sudah kita sepakati.”
Lee dan Alan mengangguk.
“Target kita kali ini adalah rumah dekat sungai yang tadi kita lewati.
Rumah itu terlihat sepi dan aksesnya mudah...”
>>>>>>
Arabella
Arabella menggosok gosok matanya dan menoleh untuk melihat jam. Tengah
malam. Arabella memakai mantel kamarnya dan melangkah keluar.
Dia sedang menuju kamar mandi saat mendengar sebuah suara dari lantai
bawah. Perlahan, dia berjinjit menuju tangga dan menjengukkan kepalanya
sedikit. Lampu dapur masih mati, namun Arabella dapat melihat kilasan kilasan
cahaya seperti senter dari sana.
Ayah? Pikir
Arabella. Terkadang Ayahnya memang pulang saat sangat larut, dan karena tak
ingin mengganggu Edith maupun dirinya, dia tak membangunkan siapa siapa.
Kenapa ayah tak menyalakan lampu? Apa dia tak ingin kami tahu bahwa dia
pulang?
Arabella melangkah hati hati
menuruni tangga, bermaksud membantu ayahnya menyiapkan makanan.
Arabella menyayangi ayahnya dan merindukan saat saat ayahnya masih sempat
membawanya menuju taman, tempat pohon moonlace, yang menurut ayahnya
adalah yang satu satunya di dunia –Arabella dulu percaya, tapi setelah besar
dia menganggapnya sebagai romantisme kecil manis ayahnya saja–. Ayahnya
bercerita bahwa di bawah pohon itulah dia pertama kali bertemu dengan ibu
Arabella. Ayahnya akan bercerita tentang masa lalunya dan untuk sesaat Arabella
bisa melihat wajah ayahnya lebih cerah. Namun beberapa tahun belakangan ini
ayahnya tak pernah lagi mengajak Arabella berjalan jalan lagi. Dia terlalu
sibuk dengan pekerjaannya.
Tapi Arabella tetap menyayangi ayahnya, dan berharap ayahnya akan
mengajaknya berjalan jalan lagi suatu hari nanti. Karena itu kali ini Arabella
akan membantunya menyiapkan makanan dan membuatnya terkesan. Dia ingin
menunjukkan pada ayahnya bahwa dia adalah anak yang patut dibanggakan.
Arabella memasang wajah tersenyum yang paling hangat dan menyalakan lampu
dapur, “Hai Ayah! Mencari sesua...”
Saat lampu dapur menyala, Arabella tidak melihat ayahnya, melainkan anak
lelaki berumur sekitar 12 atau 13 tahun dengan rambut coklat dan mata kelabu
yang terperanjat.
“Si...siapa kau? Apa yang kau lakukan di dapur rumahku?”
Anak lelaki itu nampak gugup dan menyambar tasnya, “Ma...maaf. Aku hanya
minta sedikit... aku...”
Arabella memerhatikan bahwa anak itu nampak kurus dan kotor, sekilas juga
dia melihat beberapa luka dan memar di sekitar tangan dan leher anak itu.
“Apa kau anak jalanan?” tanya Arabella.
“Eh...i-iya...”
“Kau terlihat kurus. Apa kau lapar?”
Anak lelaki itu nampak bersalah dan melirik tasnya.
“Oh, kau mengambil makanan dari lemari Edith ya?” tanya Arabella ringan.
“Tak apa apa, Edith masih bisa memasak lagi untukku besok. Apa kau sendirian?
Makanan yang kau bawa sudah cukup?”
Anak lelaki itu nampak bingung, tidak menyangka reaksi Arabella akan begitu
tenang dan santai. Dia sudah bersiap siap untuk lari namun Arabella kembali
berbicara padanya.
“Jika aku memberikanmu makanan, maukah kau tinggal sebentar dan menemaniku
mengobrol? Aku bisa membuatkanmu susu cokelat.”
Anak lelaki itu akhirnya menjawab, “A-aku harus pergi. Teman temanku sudah
menunggu.”
“Oh, kau tidak sendirian? Ada berapa banyak temanmu? Maukah kau mengajak
mereka kesini? Aku tak keberatan jika kalian membawa lebih banyak makanan.”
Anak lelaki itu nampak ragu lagi sebelum menjawab, “Kami bertiga. Aku...aku
tak tahu apakah aku bisa mengajak mereka kesini.”
“Tidak apa apa, kan? Aku tidak akan melaporkan kalian. Namaku Arabella,
siapa namamu?”
“Alan.” jawab anak itu sambil menatap gelisah keluar.
“Senang bertemu denganmu Alan.” Arabella tersenyum dan mengamati arah
pandangan Alan. “Apakah yang diluar itu temanmu? Itu cahaya senter, kan?”
Alan tiba tiba nampak panik, “Eh, aku harus segera pergi...”
“Ada apa? Ada sesuatu yang terjadi?”
“Lee menandakan ada monster di sekitar sini.”
“Mo-monster? Monster apa? Hei, kau mau pergi kemana? Aku ikut!”
Alan menoleh dengan panik, “Jangan, kau tak boleh ikut! Ini... berbahaya.
Kau tinggallah baik baik di sini. Sudah cukup banyak masalah yang kami
timbulkan untukmu. Maaf, terima kasih untuk makanannya.”
“Hei!” Arabella tidak sempat mencegah Alan berlari keluar. Dia tahu Alan
memperingatkannya untuk tidak mengikutinya, namun, entah mengapa, Arabella
justru ikut berlari keluar.
“Alan! Alan! Tunggu!”
Tapi di luar, Arabella sudah tak bisa melihat sosok Alan lagi. Cahaya
senter yang tadi terlihat lewat jendela juga sudah menghilang.
Arabella berhenti untuk mengatur napasnya yang terengah engah. Dia bertekad
tidak akan kehilangan temannya lagi kali ini.
Arabella nyaris tidak punya teman bermain. Hidupnya hanya di sekitar rumah,
pekarangan, taman dan sungai. Ayahnya bahkan tidak mengizinkannya memakai
ponsel. Di rumah mereka juga tak ada jaringan telepon. Ada sebuah televisi dan
komputer tua, namun sama sekali tak ada akses internet. Karena Arabella
mengikuti program home schooling, anak sebayanya yang dia kenal praktis
bisa dihitung jari.
Oleh karena itu, Arabella tidak mau kehilangan teman barunya.
Arabella menatap berkeliling, memutuskan untuk menyelidiki tempat cahaya
senter yang tadi dilihatnya. Arabella terus berjalan semakin jauh dari
rumahnya. Sedikit menyesal kenapa dia tak membawa senter juga, jalanan semakin
gelap.
Arabella mendengar bunyi gemerisik dari semak tak jauh darinya, “Alan, apa
itu kau?” bisiknya.
Arabella merasakan sesuatu mendesir di belakanganya dan bulu kuduknya
meremang. Dia berbalik dan baru saja akan lari ketika sesosok makhluk hitam
muncul di hadapannya sambil menggeram mengerikan.
Arabella menjerit ketakutan dan lari, dia dapat merasakan makhluk itu juga
mengejarnya. Tawanya yang seperti dengusan mengerikan terus mengikuti Arabella.
Arabella terus berlari, namun kegelapan membuatnya tak bisa melihat jelas
jalanan yang dilaluinya. Arabella
tersandung dan jatuh sambil memekik.
Makhluk di belakangnya melolong gembira dan menggeram.
Arabella menutup matanya dan pasrah, dia tahu dia takkan bisa lolos.
Lalu Arabella mendengar sebuah seruan, sesuatu yang berdesing, lolongan
menyakitkan, dan suara berdesir.
“Hei.” seseorang memegang bahunya, “Hei, kau tak apa apa?”
Arabella memekik dan memukul tangan itu, menyeret dirinya menjauh.
“Kau tak perlu takut. Dia sudah pergi.” ujar seseorang di hadapannya. Di
bawah sinar rembulan yang sedikit tertutup awan Arabella dapat melihat seberkas
rambut pirang dan mata biru yang ramah. Anak lelaki itu tersenyum.
“Ma-makhluk apa tadi... yang mengejarku...dia...” Arabella tersentak saat
melihat busur di tangan anak lelaki itu dan kantung anak panah yang di
sampirkan di punggungnya. “Ka-kau...bersenjata...”
Anak lelaki itu nampak terkejut, “Kau bisa melihatnya? Apa yang kau lihat?
Kau bukan melihat manusia? Kau bisa melihat busurku?”
“Tentu saja aku bisa melihat busurmu! Mataku normal! Dan makhluk tadi jelas
jelas bukan manusia! Dia...seperti kumpulan dari berbagai binatang yang
dicampur adukkan!”
Anak lelaki itu berkedip bingung, “Kau bisa melihatnya? Apa
kau...blasteran?”
“Blasteran?” Arabella menatap anak lelaki di depannya dengan bingung,
“Tidak, aku tak punya keturunan asing.”
“Bukan itu maksudku...”
Arabella tiba tiba mengernyit kesakitan. Nampaknya pergelangan kakinya
terkilir dan terluka saat tersandung tadi.
“Kau terluka. Bersandarlah ke pohon ini. Biar kulihat lukamu.”
Arabella menurut dan menyandarkan diri ke pohon di belakangnya, membiarkan
Lee mengamati pergelangan kakinya.
Tiba tiba Arabella tersadar, Mungkin anak lelaki ini salah satu dari
teman Alan, pikirnya.
“Eh, apa kau kenal Alan? Aku tak tahu nama belakangnya, tapi usianya kira
kira sebaya denganmu dengan rambut coklat dan mata abu abu.”
Anak lelaki itu mengangkat kepalanya dengan terkejut, “Ya. Dia temanku,
bagaimana kau bisa mengenalnya?”
“Ehm...aku memergokinya sedang mengorek ngorek isi dapur di rumahku.”
“Oh.” Anak lelaki itu nampak bersalah, “Maaf...kau tinggal di rumah dekat
sungai itu, ya?”
Arabella mengangguk, “Aku tak keberatan kalian mengambil beberapa makanan
dari rumahku. Kurasa kalian membutuhkannya.”
Anak lelaki itu menatap Arabella lagi, lalu tersenyum, “Terima kasih, kau
baik sekali. Aku dan teman temanku juga biasanya tidak, ehm, mencuri, tapi kami
sedang terdesak. Perbekalan kami sudah menipis...”
“Oh ya, namaku Lee Fletcher. Siapa namamu?”
“Arabella. Arabella Deshoulieres.”
Lee tersenyum, “Senang bertemu denganmu Arabella.”
Arabella tersipu saat Lee tersenyum padanya dan memalingkan wajah.
“Nah, Arabella, aku akan menyanyikan sesuatu untukmu. Liriknya mungkin akan
terdengar aneh, tapi percaya atau tidak, biasanya luka lukamu akan terasa lebih
baik saat mendengarnya.”
Arabella mengangguk dan Lee mulai bernyanyi.
Seolah ikut menikmati suara indah Lee, awan bergulung gulung menjauh dan
menampakkan bulan purnama yang penuh dan terang.
Arabella menatap ke atas dan dengan terkejut menyadari bahwa dirinya tengah
bersandar di bawah pohon moonlace tempat orang tuanya pertama kali
bertemu.
Bunga bunga di pohon itu yang biasanya putih dan kuncup mulai bermekaran
membentuk kelopak kelopak berbentuk bintang yang bersinar keperakan.
“Wow.” ujar Arabella takjub. “Aku belum pernah melihat moonlace
mekar sebelumnya.”
Lee menghentikan nyanyiannya dan menoleh ke atas, nampak sama takjubnya,
“Aku belum pernah melihat moonlace sebelumnya. Kukira hal itu hanya
dongeng.”
“Menurutmu apakah dia akan tetap mekar jika kupetik satu?” tanya Arabella.
“Kurasa dia akan terus mekar selama masih disinari cahaya bulan.”
“Mungkin aku akan mengambil satu...”
“Mungkin aku punya ide yang lebih baik.” ujar Lee lalu bangkit dan dengan
lembut memetik beberapa tangkai moonlace dan menjalinnya hingga
membentuk sebuah mahkota.
Lee dengan hati hati memahkotai Arabella, “Hormat, pada Yang Mulia Arabella
Deshoulieres.”
Arabella tertawa geli, “Terima kasih, Tuan Lee Fletcher yang baik.”
Saat mereka akhirnya berhenti tertawa, Lee menatap pergelangan kaki
Arabella dan bertanya, “Bagaimana dengan kakimu? Sudah lebih baik?”
Arabella berusaha menggerakkan sedikit kakinya dan dengan terkejut
menyadari bahwa sakitnya sudah hilang sama sekali, “Oh. Kurasa kakiku sudah
sembuh.”
“Benarkah? Bagus! Kalau begitu kau harus segera pulang. Jangan sampai orang
tuamu tahu kau keluyuran larut malam begini.”
-------
Arabella dan Lee berhenti di depan pintu belakang rumah Arabella. Lee
menoleh menatap Arabella dan tersenyum, “Nah Arabella, kita sudah sampai.
Istirahatlah. Kau pasti lelah setelah berlari lari tadi.”
“Makhluk itu....sebenarnya dia apa?”
Lee nampak ragu ragu sebelum menjawab, “Kobaloi. Sudah ya, Bella.
Aku harus pergi. Terima kasih untuk makanannya.”
Lee melambai dan berlari menjauh.
“Kobaloi...?” gumam Arabella. Rasa rasanya dia pernah mendengar kata
itu. Sesuatu di pelajaran sejarahnya....
Arabella menguap. Lee benar, dia memang lelah. Lebih baik dirinya segera
menyelinap kembali ke kamar sebelum Edith sadar dan mulai heboh.
>>>>>>>>
Lee
Lee yang paling terakhir kembali ke markasnya. Di sana Alan nampak lebih
hiperaktif dari biasanya, mondar mandir sambil menarik narik rambutnya
sedangkan Trent nampak lebih tenang, duduk dengan waspada di dekat pintu masuk.
“Lee!” Alan memekik saat melihatnya dan langsung bernapas lega, “Kami sudah
khawatir kau terhadang monster. Aku sudah meminta Trent untuk bersama sama
mencarimu namun dia bilang kau bisa menjaga diri sendiri.”
“Trent benar, aku bisa menjaga diri sendiri.” Lee tersenyum sedikit saat
menghempaskan tubuhnya ke alas tidur mereka.
“Kenapa kau lama sekali kembali? Kau bertemu monster?”
“Ya. Seekor kobaloi.” ujar Lee, “ dia mengejar seorang gadis kecil
yang keluar malam malam karena mengikuti seseorang yang bernama Alan. Kira kira
kau kenal tidak?”
Alan langsung terlihat malu, “A-aku sudah menyuruhnya untuk tetap tinggal,
kukira dia tak mengikutiku lagi...”
Kening Trent berkerut, “Oke, aku tak begitu mengikuti cerita ini. Bisa kau
ceritakan secara runut dan jelas?”
“Singkat cerita, Alan terpergok saat, ehm, mengambil makanan di rumah tadi
oleh seorang gadis kecil. Untungnya, gadis itu tidak keberatan, dia malah
menawarkannya pada Alan. Kalau boleh kutambahkan dia nampaknya seperti gadis
kecil yang kesepian dan tak punya teman, jadi dia ingin mengobrol dengan Alan.
Nah, sayangnya, aku memilih waktu yang tidak tepat untuk merasakan adanya
monster di dekat kita dan langsung memberi sinyal pada Alan yang segera
menyelamatkan diri. Setelah itu, aku berlari ke arah taman di sisi sungai dan
bersembunyi sebentar. Namun tidak lama, aku mendengar raungan dan semacamnya,
juga teriakan gadis kecil. Aku mendekatinya, dan ternyata ada seekor kobaloi
yang sedang menyerang gadis itu. kobaloi itu tak sadar aku ada di
dekatnya jadi dengan mudah aku memanahnya dan dia melebur jadi debu, seperti
biasa.”
“Ehm, jadi itu versi singkat?”
Lee nyengir dan mengangkat tangan, “Hey, setidaknya aku tidak tergagap
gagap seperti seseorang yang lain...”
“Me-memangnya aku gagap?!” protes Alan.
Trent terbahak, “Yah, setidaknya semua berjalan lancar. Kalian berdua
istirahatlah, aku akan mengambil giliran jaga pertama. Besok kita akan
berangkat pagi pagi. Alan, mungkin kau bisa mampir dulu ke rumah gadis itu dan
meminta sedikit bekal lagi. Kau tahu, untuk jaga jaga. Tak setiap hari kita
menemukan gadis kecil seperti itu, kan?”
Alan menggumamkan sesuatu yang tak jelas dan membenamkan wajahnya ke ransel
yang dijadikannya bantal. Lee terkekeh dan merebahkan tubuhnya.
Untuk sesaat, semua nampak akan berjalan baik baik saja.
-----
Sinar matahari pagi hari menyinari wajah Lee dan membuat anak lelaki itu
berkedip silau, lalu bangkit terduduk.
“Pagi.” sapa Alan.
“Pagi.” Lee melemaskan lehernya, “Di mana Trent?”
“Di sini.” Trent memasuki gudang kecil yang menjadi markas sementara mereka
dengan membawa setumpuk kecil dedaunan, “Aku menemukan ini, thymbelmine. Tidak
sebagus ambrosia dan nektar tentunya, tapi bisa dimanfaatkan.”
“Kau memang menakjubkan, Trent.”
“Diamlah, Fletcher. Ini untuk berjaga jaga bila nanti kau, penyembuh kami,
yang terluka.”
Lee hanya mengangguk angguk sambil nyengir, “Apa kita berangkat sekarang?”
“Setelah Alan mengunjungi gadis kecil itu lagi.”
Alan mengerang, “Apakah aku benar benar harus melakukannya? Tidakkah bekal
kita sudah cukup?”
“Tak ada salahnya berjaga jaga, jagoan. Ayolah, masa kau takut pada gadis
kecil?”
“Aku nggak takut.” gumam Alan, “tapi kenapa hanya aku yang pergi sih?
Memang apa yang mau kalian lakukan di sini?”
“Kurasa Alan benar juga, Trent. Tak ada salahnya kita ikut kan? Siapa tau
dengan melihat tiga anak jalanan yang mengibakan dan bukan seorang saja akan
membuatnya luluh.”
“Hmm, bisa diterima. Baiklah, kita akan bersiap siap sekarang dan segera
menuju rumah gadis itu.”
Lee menahan senyum. Entah mengapa, dia senang bisa bertemu gadis kecil itu
lagi sebelum akhirnya dia akan pergi. Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir
mereka, jadi Lee ingin kenangan mereka lebih baik daripada saat dikejar kejar kobaloi.
Kening Lee berkerut, Meskipun datang ke rumahnya mengemis untuk makanan
bukan kenangan yang bagus juga sih.
-----
“Eh, tunggu dulu, pagi pagi seperti ini tidakkah kau pikir gadis kecil itu
akan pergi ke sekolah?” tanya Alan tiba tiba.
“Eh, iya juga ya...” Lee dan Trent terdiam. Mereka sudah begitu lama tidak
bersinggungan dengan kehidupan manusia fana seperti itu hingga mereka hampir
lupa rasanya.
“Hmm, begini saja. Kita lihat apakah gadis itu ada di rumah atau tidak. Jam
segini paling dia masih sarapan kan? Kalau dia ada, kita akan memanggilnya,
bagaimana?” ususl Trent.
Lee dan Alan mengangguk setuju.
“Tapi serahkan bagian berbicaranya padaku. Untuk bicara rasanya aku lebih
baik daripada seorang yang tergagap gagap dan seorang anak lelaki bertubuh
besar dengan suara seram yang belum pernah ditemui Arabella kecil.”
>>>>>>>
Arabella
“Selamat pagi, Edith.” Arabella menguap sedikit sambil menggosok matanya.
“Pagi, nona kecil.” sahut Edith tanpa menoleh. “Kau bangun agak terlambat.”
“Iya, aku...agak sulit tidur.” jawab Arabella, mengingat kembali kejadian
semalam. Sekarang semuanya nampak kabur dan bagaikan mimpi.
“Ada apa, Edith?” tanya Arabella saat melihat pengasuhnya itu berkacak
pinggang sambil terus menggumam. Mata Edith lekat menatap isi dapurnya.
“Aku yakin aku masih memiliki sekitar dua balok roti, tiga kaleng mentega,
sepuluh kaleng sarden, empat kotak sereal, tiga bungkus sosis ...”
“Oke, oke, aku mengerti, jadi makananmu tidak ada dalam jumlah yang sama
seperti sebelumnya. Tapi apa kau yakin? Maksudku, makanku kan banyak...” Edith
menatap Arabella dengan skeptis, “Oke, makanku mungkin nggak banyak...”
“Arabella Deshoulieres, apa yang kau sembunyikan dariku? Kau tidak memiliki
peliharaan kan?”
“Ng-nggak kok...”
Mata Edith menyipit, “Jangan membohongiku, nona muda. Kulihat snack
cemilanmu juga menurun drastis di kulkas. Sekarang, katakan sejujurnya
padaku...”
“A-aku...”
“Arabellaa~”
Terdengar ketukan dan suara beberapa anak lelaki memanggil dari pintu
belakang.
Arabella dan Edith terpaku sejenak.
Terdengar suara suara itu memanggil lagi, “Arabella~”
“Arabella Deshoulieres, siapa yang ada di luar?”tanya Edith dengan mata
disipitkan.
“A-aku tak tahu. Aku kan belum melihat siapa yang ada di luar...” kilah
Arabella, meskipun pikirannya langsung tertuju pada Alan dan Lee. Yah, dia kan
memang tak punya banyak teman.
Edith menyipitkan mata sekali lagi pada Arabella yang berusaha tersenyum
polos. Wanira itu lalu melangkah ke pintu dapur dan membukanya.
“Selamat pagi, Nyonya.” sapa hangat seorang anak lelaki berusia sekitar 12 atau
13 tahun yang tampan dengan rambut pirang dan mata biru cerah. “Boleh kami
bertemu Arabella?”
Anak lelaki itu tersenyum manis dan Edith, sebagai wanita paruh baya yang
menyukai anak anak, langsung terpesona dengan senyum anak lelaki itu.
“Oh, tentu sa... tunggu, siapa kalian?”
Anak lelaki itu memperkenalkan dirinya dan kedua temannya –yang nyaris tak
diperhatikan Edith– dengan amat sopan, “Ah, maafkan ketidak sopanan kami. Nama
saya Lee Fletcher, ini Alan Jones dan Trent Hanson. Kami berkenalan dengan Arabella
kemarin, dan hanya kemari untuk mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.
Kami harus segera melanjutkan perjalanan kami.”
Meskipun bingung, Edith merasa senang mengetahui bahwa Arabella akhirnya
mendapatkan teman. Meskipun mereka akan segera pergi dan merupakan sekumpulan
anak yang aneh. Salah satunya, yang bernama Lee sama sekali tidak berwajah
asia. Mata biru, rambut pirang, senyum yang amat manis, tutur kata yang halus
dan sopan meskipun pakaiannya agak lusuh. Yang satu lagi kira kira seumuran
dengan Lee, mata biru keabuan, rambut coklat berantakan, nampak gugup dan
meremas remas ujung bajunya, namanya adalah Alan Jones. Yang terakhir lebih tua
daripada teman temannya, kira kira 14 atau 15 tahun. Tubuhnya tinggi dan
berisi, dengan rambut coklat dan mata hitam yang waspada namun tetap memandang
sopan pada Edith, Trent Hanson.
“Arabella,” akhirnya Edith memanggil Arabella, “apa kau mengenal para anak
lelaki ini?”
Arabella yang sejak tadi duduk dengan was was sambil meremas remas taplak
meja melompat dari duduknya dan menghampiri mereka dengan separuh berlari.
“Ya! Mereka teman temanku.” ucapnya dengan buru buru. “Edith, kau tahu,
kurasa pansy-pansy yang kau tanam di pekarangan sudah mekar. Tidakkah kau ingin
melihatnya?”
“Baiklah...” ujar Edith sambil memerhatikan ketiga anak lelaki itu lagi.
“...aku akan ada di depan, kau bisa memanggilku jika ada apa apa.”
Arabella mengangguk cepat.
“Kalian akan pergi?” tanya Arabella kecewa segera setelah Edith
meninggalkan mereka.
Lee mengangguk, “Kami tak bisa tinggal.”
Anak lelaki yang paling besar, Trent, mendekati Arabella dan menepuk kepala
Arabella dengan tidak-terlalu-lembut. “Kau belum mengenalku, jadi biarkan aku
memperkenalkan diri. Namaku Trent, dan sebagai pemimpin kelompok kecil ini, aku
mau berterima kasih atas makanan yang kau berikan dan karena tidak melaporkan
kami.”
Ujung bibir Trent terangkat sedikit dan menyalami Arabella, “Terima kasih, kiddo.”
Awalnya Arabella agak takut pada Trent. Tubuhnya tinggi besar dan suaranya
agak seram, namun Arabella membalasnya senyumnya dengan tulus dan tidak lagi
merasa takut padanya.
“Sama sama.” Arabella menambahkan, “Apakah kalian akan pergi jauh?
Perbekalan kalian cukup?”
Ketiga anak lelaki itu berpandangan dan nyengir, “Well, aku tak menyangka
akan semudah ini.” ujar Trent.
“Huh?”
Lee mengalihkan pandangan pada Arabella, “Apa nenekmu takkan curiga?
Maksudku kemarin kan kami sudah mengambil, ehm, cukup banyak.”
Arabella mengedikkan bahu, “Menurutku dia sudah menduganya sekarang.
Biarkan saja. Lagipula dia bukan nenekku.”
Lee sudah membuka mulutnya untuk merespon perkataan Arabella saat sebuah
jeritan melengking mengejutkan mereka semua.
“I-itu suara Edith.” ujar Arabella panik.
Wajah ketiga anak lelaki itu langsung waspada.
“Arabella, tetap di sini. Kunci pintu dan jendela, jangan biarkan siapapun
masuk kecuali kau melihat kami.” ujar Trent sambil menyiagakan tongkat lacrosse-nya.
Eh, bukan, itu...sebuah tombak. Arabella menggeleng gelengkan kepalanya untuk
menyegarkan penglihatannya. Benar, itu sebuah tombak. Meskipun Arabella sangat
yakin bahwa tombak panjang itu adalah tongkat lacrosse beberapa detik
sebelumnya.
“Astaga, kau punya tombak! Dan kemarin kau membawa busur dan anak panah
sungguhan.” tunjuknya bergantian pada Trent dan Lee.
Alan nampak terkejut, “Kau bisa melihat?”
“Apa maksudmu? Tentu saja aku bisa!”
“Teman teman, kita nggak punya waktu untuk ini. Arabella, tetap di sini.
Lee, Alan, bersiap.”
Lee dan Alan mengangguk dan pergi mengikuti Trent.
Arabella berdecak kesal, anak anak lelaki itu. Memangnya apa sih yang bisa
terjadi padanya?
Tapi kalau dipikir pikir lagi... bagaimana kalau makhluk yang kemarin malam
menyerangnya datang lagi? Bulu kuduk Arabella langsung berdiri. Masa bodoh apa
kata Trent, Arabella tidak mau ditinggal sendirian.
Tanpa mengetahui apa yang akan dihadapinya Arabella melangkah menuju bagian
depan rumahnya, tempat sebuah pertarungan antara demigod dan monster akan
berlangsung.
>>>>>>>>>>>
Lee
“Demi dewa dewa...”
Lee tercengang melihat makhluk di hadapannya. Sesosok makhluk dengan kepala
singa, tubuh seekor kambing raksasa dan ekor berupa ular derik diamondback.
“Chimera!” teriak Trent. “Kepala singanya hanya satu, berarti bisa
mengeluarkan api. Ekor ularnya juga berbisa mematikan. Lee, panah mata singanya
dan kepala ularnya. Aku akan mengalihkan perhatiannya dan membawanya menjauh
dari sini. Alan, bantu nyonya itu dan bawa dia masuk.”
Lee dan Alan mengangguk. Alan segera menolong Edith masuk kembali ke dalam
rumah dan Lee bersiaga dengan busur dan anak panahnya.
Trent memutar mutar tombaknya dan mendapatkan perhatian si monster. Dengan
hati hati dia mengarahkan monster itu untuk mengikutinya ke lahan lapang di
dekat sungai. Lee bersiaga tak jauh dari Trent, mengikuti dengan perlahan di
belakang si chimera.
Kepala singa dan ular dari chimera itu memusatkan perhatian pada Trent.
Sebuah serangan tiba tiba dari chimera, kepala singanya menyemburkan api ke arah Trent, namun Trent dengan sigap
berguling menghindar dan melemparkan sebilah pisau ke wajah singa si chimera.
“Lee! Ekornya!” teriak Trent.
Chimera itu mengaum kesakitan, namun bidikan Trent meleset sedikit dan
hanya mengenai rahangnya. Teriakan Trent membuat chimera sadar dan ekor ularnya
berkelit dari panah Lee yang kemudian menancap pada kusen pintu dapur Arabella.
Terdengar sebuah jeritan dan Lee tersadar bahwa Arabella sedang berdiri di
ambang pintu yang sedikit terbuka.
“Arabella, masuk!” teriak Lee memperingatkan. Namun chimera telah melihat
Arabella dan menerjang ke arahnya.
Bukannya masuk kembali ke rumahnya, Arabella dengan panik justru berlari
keluar menuju taman. Lee berlari mengejarnya dan berusaha membidik titik titik
lemah chimera.
Seluruh indera Lee seolah terbangun. Dokter keluarganya dulu mengatakan
pada ibunya bahwa itu adalah efek dari GPPH, namun Trent memberi tahu bahwa itu
adalah refleks perang para demigod. Dan sekarang, refleks perangnya seolah
meneriakkan SIAGA ke seluruh tubuhnya.
Dari ujung matanya Lee dapat melihat Alan menghambur dari pintu dapur
dengan pedang terhunus, mengejar chimera di belakangnya. Di sisi lain Trent
sudah menyiagakan tombak dan pisau lemparnya.
Lee memutar menjauhi chimera dan berhasil menyambar lengan Arabella dari
samping saat sebuah rasa sakit yang menyengat menjalari bahunya.
“Tidak!” teriak Trent dan melempar pisaunya lagi, kali ini tepat memotong
ekor ular chimera yang menggigit Lee. Potongan ular itu terjatuh tak berdaya di
sisi chimera yang mengaum kesakitan.
Lee mengerahkan tenaganya untuk menarik Arabella menjauh dari chimera.
Mulut singa chimera terbuka untuk mengeluarkan api, namun dengan ketepatan
menakjubkan Trent kembali melemparkan pisaunya tepat ke dalam mulut chimera dan
membuatnya tercekik.
Alan datang di saat yang tepat dan segera menahan tubuh Lee yang limbung.
“Astaga, bertahanlah Lee.” bisik Alan dan memapahnya menjauh. Arabella yang
menangis karena takut dan khawatir melangkah dengan bingung menjauhi mereka. Tak sadar akan bahaya yang akan mengancamnya.