Percy Jackson Fanfiction : First Encounter (Part 2)
Trent
Trent mengalihkan perhatian chimera selagi Alan memapah Lee menjauh. Di
ujung matanya dia melihat si gadis kecil Arabella justru menjauhi Lee dan Alan.
Gawat, kalau dia sendirian seperti itu bisa bisa justru dia diincar lagi, pikir Trent.
Akhirnya, Trent memutuskan untuk mengambil pisau lemparnya yang terakhir
dan, setelah membidik dengan seksama, melemparkannya ke wajah si chimera.
Lemparannya tepat. Si chimera meraung kesakitan dan memberikan waktu yang
cukup bagi Trent untuk menyambar lengan Arabella dan separuh menyeretnya menuju
daerah hutan kecil di taman.
Arabella memekik saat Trent menariknya.
“Diamlah kalau mau selamat.” geram Trent. Dia sering tak tahan dengan anak
perempuan. Mereka terlalu banyak merengek.
Namun Arabella berhasil menahan mulutnya dan dengan terseok mengikuti
kecepatan lari Trent.
“Apa kau bisa memanjat?” tanya Trent di sela napasnya.
Arabella mengangguk dengan susah payah. “Bagus, aku ingin kau memanjat
setinggi tingginya dan apapun yang terjadi, jangan turun. Jangan turun kecuali
kau melihat chimera itu hancur jadi debu atau salah satu dari kami menyuruhmu
turun, mengerti?”
Arabella masih terseok dan terengah sembari mengikuti langkah Trent.
“Apa kau mengerti?!” Kali ini Trent mengencangkan pegangannya sedikit.
Arabella menggigit bibir dan berusaha mengangguk.
“Bagus. Sekarang, panjatlah gadis kecil, cepat.”
“B-Bagaimana denganmu?...” tanya Arabella pelan.
Ujung bibir Trent terangkat sedikit. “Aku akan memberi chimera sialan itu
pelajaran.”
Trent lalu berlari lagi menuju ke arah sungai. Si chimera segera menyadari
gerakannya dan berlari meraung ke arahnya.
Dengan gemetar Arabella memanjat, berdoa semoga anak lelaki tinggi itu baik
baik saja.
>>>>>>>>>>>
Alan
Oh Hermes yang agung, Zeus, Apollo, siapapun
kalian yang di atas sana kumohon bantulah kami, pikir Alan panik.
Alan membaringkan Lee di sofa rumah Arabella. Edith yang sudah cukup pulih
dari shocknya membawakan kain dan
batu es untuk mengompres Lee yang suhu tubuhnya naik dengan drastis.
Alan mengeluarkan belati kecilnya dan mulai menyobek kaus yang dipakai Lee.
Sobekan kaus itu digunakannya untuk mengikat daerah sekitar gigitan agar
racunnya tidak menyebar. Dilihatnya bahu Lee sudah mulai membengkak, efek
samping dari tubuhnya yang melawan keberadaan racun itu.
Alan merogoh tasnya dengan panik, separuh mengutuki ayahnya yang merupakan
dewa obat obatan namun tidak menurunkan kemampuan itu padanya sama sekali.
“Alan...?” gumam Lee, nafasnya tidak beraturan. “Kurasa aku akan muntah.”
“Kemarilah nak, ini, keluarkan saja semuanya.” Edith mengulurkan sebuah
kantong pada Lee, mengusap usap belakang lehernya dengan lembut.
Alan akhirnya berhasil mengeluarkan ambrosia yang mereka simpan untuk
keadaan keadaan genting saja. Karena biasanya Lee mampu menyembuhkan luka
sehari hari mereka, ambrosia biasanya tidak dibutuhkan. Namun karena saat ini
sang penyembuh yang terluka parah...
“Lee, cepat makan ini.” Alan berusaha memasukkan potongan potongan kecil
ambrosia ke mulut Lee. Lee nampak kesulitan untuk memroses makanan para dewa
itu ke dalam tubuhnya, namun dia berhasil.
Bahkan ambrosia pun membutuhkan waktu untuk mengeluarkan racun dari tubuh
seorang demigod. Lee sementara ini harus bertahan dengan rasa sakit yang
dideritanya.
Alan tergoda untuk memberikan lebih banyak ambrosia, namun dia memutuskan
bahwa itu bukan pilihan yang bijak. Dia tak ingin Lee secara harfiah terbakar
karena memakan terlalu banyak ambrosia.
Alan mengecek nadi Lee dan mendesah lega. Setidaknya detak jantungnya sudah
mulai normal. Ambrosianya sudah mulai bekerja ke di tubuh Lee.
“Apa dia akan baik baik saja?” bisik Edith dengan khawatir.
“Ambrosianya sudah mulai bekerja, dia harus bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang tidak menyenangkan, tapi dia akan baik baik saja. Dia kuat.”
Ujar Alan, separuh meyakinkan dirinya sendiri.
Di saat keadaan Lee sudah mulai menunjukkan kestabilan seperti ini, pikiran
Alan melayang pada Trent. Bagaimana keadaan pemimpinnya itu sekarang? Bisakah
dia mengatasi chimera itu sendiri? Alan tahu Trent tangguh, bagaimanapun juga
dia putra dewa perang. Namun, apakah Trent cukup tangguh untuk menghadapi
chimera itu sendirian...?
>>>>>>>>>
Trent
Baiklah, pikir Trent. Pikirkan
kemampuan yang sudah hilang dari chimera; dia sudah tidak punya ekor ular
berarti minus gigitan beracun, aku melempar pisau dengan tepat ke mulutnya jadi
mustahil dia bisa mengeluarkan api, dan aku juga sudah menggores wajahnya
sedikit sedikit. Jadi bisa dikaakan kalau aku hanya berhadapan dengan singa
biasa saja saat ini. Yup, singa biasa sebesar bison dengan bokong kambing.
Seberapa sulit sih mengalahkannya?
Trent tidak tahu. Ini pertama kalinya dia menghadapi seekor chimera. Dia
juga belum pernah mendengar kisah para pahlawan yang mengalahkan chimera. Tentu
saja dia bisa mengenali chimera, tapi cara mengalahkannya, itu yang jadi
pertanyaannya.
Senjata yang dipegangnya saat ini hanya sebuah tombak. Dia bisa saja
melemparkannya dari jauh, namun kemungkinan dirinya bisa menghabisi chimera itu
dengan satu serangan... nyaris mustahil. Dan saat tombaknya terlempar dan
berada di luar jangkauannya, habislah kesempatannya menyerang.
Itu artinya dia harus mengambil resiko menyerang dari dekat. Dengan
konsekuensi taring taring besar si chimera akan berada sangat dekat dengan
lehernya.
“Yah, sekarang atau tidak sama sekali.” Gumam Trent. Dia tak punya banyak
pilihan. Jika dia ingin melindungi kedua demigod yang sudah dianggapnya sebagai
adiknya sendiri itu, dia harus melakukan ini. Bagaimanapun hal ini terlihat
seperti serangan bunuh diri.
Trent memutar mutar tombak di tangannya dengan lihai. Mengamati monster
yang nampaknya sudah dapat mencium bau demigod-nya dan berderap ke arahnya.
Monster itu cepat, meskipun ukurannya
raksasa, piker
Trent. Satu lagi keuntungan untuk si
monster.
Trent tahu bahwa dia hanya punya satu kesempatan. Hanya ada satu jalan
untuk mengalahkan monster ini. Dan untuk itu, dia berdoa pada ayahnya, sang
dewa perang.
-----
Sang chimera sudah berada di dalam jangkauan lempar tombaknya, namun Trent
tahu bahwa chimera itu terlalu cekatan dan pintar untuk bisa dilukai dengan
satu lemparan tombak saja. Dia harus menggunakan taktik. Dan hanya ada satu
taktik yang dapat dipikirkannya untuk mengalahkan sang chimera.
Trent menyiagakan tombaknya saat chimera makin mendekat. Makhluk itu seolah
menyeringai saat mencermati Trent.
‘Demigod tolol.’ Terdengar suara sengau dan berat. Untuk sesaat Trent
tidak menyadari siapa yang berbicara. Namun saat melihat mulut singa sang
chimera bergerak sadarlah ia bahwa itu adalah suara sang chimera. ‘Kau memilih tempat yang buruk untuk
serangan terakhirmu. Apakah kau sudah begitu putus asa hingga kau hanya
memikirkan untuk memberikan waktu agar teman teman kecilmu bisa kabur?’
Trent melirik ke belakangnya. Apa yang dikatakan chimera itu memang benar.
Beberapa langkah di belakangnya terdapat aliran sungai yang cukup deras, Trent
takkan bisa melarikan diri lewat sana. Die terjebak.
Trent menyipitkan mata dan memandang lurus ke arah si chimera. “Suaramu
terdengar sangat buruk. Apa kau terkena flu? Oh, aku lupa, kau kan habis
menelan pisauku. Apa rasa pisau stainless steel enak?”
Chimera itu menggeram, ‘Pisau buatan
manusia fana semacam itu takkan mampu membunuhku, bocah. Namun kau memang
berhasil melukai tenggorokanku dengan cukup parah. Akan kupastikan kau membayar
untuk itu.’
Chimera itu menerjang ke arah Trent, namun anak lelaki itu juga sudah siap
dengan serangan sang chimera. Trent segera menghunuskan tombaknya kuat kuat ke
atas dan menjatuhkan dirinya. Sang chimera meraung keras.
Kena, pikir Trent. Dikerahkannya seluruh tenaga untuk
mendorong tombak yang dipegangnya ke bagian vital chimera, instingnya
mengatakan bahwa tombaknya tepat menembus chimera tersebut. Dibantu oleh gaya
dari lompatan si chimera, Trent menggunakan kakinya untuk menggulingkan sang
chimera bersamaan dengan hunusan tombaknya. Perhitungan sempurna Trent membuat
chimera itu terlempar dan terjun ke sungai, disertai dirinya.
>>>>>>>
Alan
“Alan…”
Alan segera mendekati sahabatnya yang terbaring lemah. “Lee, kau sudah
sadar? Syukurlah ambrosianya bekerja ekstra cepat, mungkin aku mewarisi bakat
ayahku bagaimanapun juga. Kau ingin minum?”
“Tidak… hanya…. Berikan thymbelmine-nya
padaku… lalu pergilah tolong Trent dan Arabella… aku akan baik baik saja…. Aku…
firasatku tidak enak…” ujar Lee dengan tersengal.
Wajah Alan berubah pucat. Jika Lee yang merupakan putra dewa ramalan
mengatakan bahwa firasatnya tidak enak, maka sesuatu yang buruk sudah pasti kan
terjadi.
“Baiklah, aku akan mencari mereka. Akan kuminta nyonya itu membantumu.”
Lee mengangguk, otot otot lehernya menegang karena menahan rasa sakit.
Alan menyambar pedang dan tas kecilnya. Semoga dia belum terlambat.
>>>>>>>
Trent
Trent mengernyit saat menyadari bahunya koyak. Chimera itu berhasil
menggigitnya saat ia menusukkan tombaknya.
Trent tersenyum lelah. Yah, kemungkinan itu memang sudah dipikirkan Trent.
Tombak yang dia miliki bukanlah tombak perunggu langit maupun emas imperial.
Dia takkan bisa benar benar membunuh sang chimera dan membuatnya hancur jadi
abu. Yang bisa dilakukannya hanyalah melumpuhkan sang chimera dan menahannya
hingga makhluk itu kehabisan kekuatan dan hancur menjadi debu dengan
sendirinya.
Sejak awal semua memang sudah merupakan rencananya. Posisi dirinya yang
terpojok oleh sungai ditujukan agar si chimera lengah dan berpikir dia sudah
tidak berdaya. Dengan begitu chimera akan menyerang dengan cara menerkam Trent,
karena tombak takkan berguna jika dilempar dengan jarak sedekat itu. Saat
chimera menerkam, bagian bawah tubuh monster itu akan terekspos pada Trent,
dengan timing dan grip yang tepat pada tombak, Trent dapat mengenai jantungnya.
Dalam waktu nyaris bersamaan Trent menggunakan kedua kakinya untuk melontarkan
si chimera tepat menuju aliran sungai untuk menjauhkan monster itu dari teman
temannya. Selanjutnya yang dapat dia lakukan adalah mempertahankan posisi
tombaknya pada chimera dan menahannya selama mungkin. Dengan kata lain, ikut
hanyut dan tenggelam bersama sang chimera.
Jika kau tidak bisa menjatuhkan musuhmu ke tartarus, tarik dia ke dalam bersama denganmu.
Sejak awal semua memang sudah merupakan rencananya.
Taktik terakhir yang dapat dipikirkannya untuk menjaga teman temannya, keluarganya.
Trent hanya berharap mereka dapat memahami pengorbanannya dan tumbuh menjadi demigod
yang tangguh.
Lama kelamaan aku makin terdengar seperti
ayah mereka, pikir
Trent sambil tersenyum kecil, matanya terpejam. Mati untuk melindungi orang orang yang kau sayangi… kurasa bukan akhir
yang terlalu buruk.
>>>>>>>
Alan
Alan berlari secepatnya ke arah hutan. Ia terus menerus berdoa dengan
tegang.
Kumohon lindungilah Trent dan Arabella,
Hermes yang mulia, Zeus yang agung, siapapun yang mendengar doaku kumohon
kabulkanlah, pikir Alan
sambil terus berlari.
“A-Alan!” terdengar suara gemetar anak perempuan memanggilnya.
Alan mencari cari sumber suara tersebut dan menoleh ke atas. “Arabella!
Turunlah, dimana Trent?”
Arabella perlahan lahan turun dibantu oleh Alan, “Kau baik baik saja?
Dimana Trent?”
Arabella mengangguk meskipun tubuhnya gemetaran. “D-dia berlari ke arah
sungai di sana.”
“Oke. Larilah kembali ke rumahmu, aku akan membantu Trent.”
Arabella menggigit bibirnya dan berujar, “Berhati-hatilah, Alan.”
Namun Alan sudah melaju pergi, khawatir akan keselamatan sosok yang sudah
ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Semoga dia belum terlambat…
Alan keluar dari rimbun pepohonan, dia sudah dapat melihat sungai…
Jantung Alan seolah berhenti sesaat. Sungai yang sehari sebelumnya begitu
jernih kini bersemburat warna merah. Alan melihat sekelilingnya dengan panik,
namun dia tetap tak dapat melihat Trent dalam jarak pandangnya.
Alan berlari mengikuti arus sungai bersemburat merah itu. Dengan panik
matanya mencari cari sosok Trent. Namun dia tak dapat menemukannya.
Alan terus berlari dan berlari hingga sebuah pemandangan membuatnya terpaku.
Sepotong kayu panjang dan ramping seperti gagang sapu. Salah satu ujungnya
nampak dipotong dengan cukup halus, sedang ujung satunya nampak patah. Namun
yang membuatnya bersegera mengambil potongan kayu itu adalah ukiran yang ada di
dekat ujung yang halus.
Sebuah caduceus.
Caduceus dengan ular ular yang terlalu ceking dan sayap yang tidak
seimbang.
Ukiran yang ada pada kayu tombak buatannya, tombak yang dihadiahkannya
untuk Trent.
Saat itulah Alan sadar akan kenyataan yang telah terjadi pada Trent.
>>>>>>>>>
Lee
Panas. Tubuhnya terasa panas. Bahunya juga nyeri sekali. Air. Dia butuh
air.
Tangannya meraba raba meja di sisinya. Dia berhasil meraih suatu benda yang
terasa seperti gelas, namun ia tak bisa memerintahkan tubuhnya untuk duduk
tegak.
Seseorang meraih gelas itu dari tangannya, lalu dia merasa tangan lain menopang
kepalanya agar dapat tegak.
“Terima kasih.” Gumam Lee. Diminumnya perlahan lahan air itu.
Thymbelmine, pikir Lee. Air yang diminumnya adalah air rebusan thymbelmine.
“Edith sedang mengganti air baskom kompresanmu.” Ucap sosok yang
membantunya.
“Arabella?” gumam Lee. “Dimana Trent dan Alan?”
Lee dapat merasakan tangan gadis itu bergetar saat mendengar pertanyaannya.
“Bells?”
“Mereka belum kembali.” Suara gadis itu bergetar seolah menahan tangis.
“Maaf.”
Air thymbelmine yang diminum Lee
bekerja dengan cepat. Panas yang dirasakannya berkurang sehingga kepalanya
dapat berpikir jernih.
“Bells, untuk apa kau meminta maaf? Ini bukan salahmu.” Ucap Lee lembut
sambil berusaha menegakkan tubuhnya untuk duduk. “Jangan pernah berpikir ini
semua salahmu, oke? Kamilah yang membuat monster itu datang. Kalau ada yang
harus meminta maaf maka harusnya kamilah orangnya. Jangan pernah merasa bahwa
ini adalah salahmu, oke Bells?”
Arabella menggigit bibirnya, Lee tahu dia menahan tangis, namun gadis itu
tetap mengangguk.
“Kau sudah sadar rupanya. Bagaimana keadaanmu? Anak lelaki tadi, Alan,
tidak membolehkanku memberikanmu obat-obatanku sendiri, dia bahkan tidak membolehkanku menelepon
ambulans ataupun polisi.” Ujar Edith yang datang sembari membawa sebaskom air.
“Tidak apa apa, nyonya, memang
lebih baik begitu untuk anda dan Arabella.” Jawab Lee sambil tersenyum dan
berusaha bangkit. “Kurasa aku akan pergi menyusul Alan dan Trent…”
“Tidak perlu.”
Sesuatu dalam suara itu
menyentakkan ketiganya. Suara itu terdengar kosong, tanpa sedikit pun tanda
emosi apapun.
Lee menatap sahabatnya yang baru
saja memasuki ruangan itu dan dengan segera menyadari sesuatu yang amat buruk
telah terjadi.
Alan melemparkan sebatang kayu ke
arah Lee. Namun saat diamati dengan seksama benda itu bukan kayu biasa. Benda
itu adalah bagian dari gagang tombak Trent.
Saat itulah Lee sadar bahwa
mereka sudah kehilangan Trent.
“Kutemukan di sungai. Tak ada
lagi yang tersisa. Kemungkinan sudah jadi debu dan tubuh Trent diambil
ayahnya.” Alan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. “Kita akan segera berangkat
saat kau sudah pulih.”
Lee mengangguk perlahan. Dia
menatap Alan untuk mengatakan sesuatu namun sesuatu pada mata Alan mendadak
menghentikan niatnya.
Sesuatu pada mata itu membuat Lee
paham, kehilangan Trent juga membuat Alan kehilangan bagian dari dirinya
sendiri.
Alan yang kini dilihatnya bukan
lagi Alan yang selama ini dikenalnya.
>>>>>>>>>
Arabella
“Aku sudah menduga akan
menemukanmu di sini.”
Arabella menolehkan kepalanya dan
melihat Lee mendekati tempatnya duduk sambil memeluk lutut.
“Nyonya Edith bilang kau mungkin
ada di pinggir sungai, tapi dia kan tak tahu kau sudah menemukan tempat ini.”
Lee menjatuhkan dirinya di sisi Arabella dan menatap ke rimbunan moonlace yang kuncup di atas kepalanya.
“Karena ini sudah pagi jadi sudah
tidak ada sinar bulan ya.” Gumam Lee, “Tapi moonlace
yang belum mekar ini juga cantik.”
Arabella hanya mengangguk.
“Hey, kau tahu besok tanggal 4
Juli? Biasanya di kampung halamanku pada malam menuju tanggal 4 Juli akan
diadakan pesta dansa besar besaran. Biasanya para sepupuku akan datang dan kita
akan menari bersama. Itu adalah satu satunya waktu ibuku mengizinkanku terjaga
hingga larut malam.” Ucap Lee sambil tersenyum. “Kau bisa berdansa?”
Arabella mengangkat bahu, “Sedikit.”
Senyum Lee melebar, “Kalau
begitu, ayo kita buat janji. Saat ini aku memang harus pergi, namun saat kita
bertemu lagi, kita akan berdansa dengan rangkaian moonlace yang mekar sempurna di kepalamu. Bagaimana?”
“Kita mungkin sudah tidak
mengenali satu sama lain kalau bertemu lagi.”
Lee memiringkan bibirnya dengan
lucu, nampak berpikir. “Kau ada benarnya juga… Oh, aku tahu.”
Lee merogoh rogoh ranselnya dan mengeluarkan
sesuatu yang berkilau. Sebuah jepitan dengan dua burung merpati keperakan
sebagai hiasannya. “Ini dulunya adalah milik sahabatku. Dia adalah teman
seperjalananku sebelum aku bertemu dengan Trent dan Alan.”
Arabella mengamati jepitan yang
indah itu dengan kagum, “Cantik sekali…. Dimana sahabatmu itu sekarang?”
Lee tersenyum sedih dan
mengangkat bahu, “Kuharap di Elysium.”
“Elysium?” Tanya Arabella. Samar
samar sepertinya dia pernah mendengar nama itu. “Dimana itu?”
“Sebuah tempat yang tak bisa
kudatangi. Setidaknya belum.” Lee melonggarkan jepitan itu. “Sini, biar
kupakaikan padamu. Jepitan ini kuberikan padamu agar saat kita bertemu lagi aku
akan bisa segera mengenalimu, oke?”
“Memangnya kau akan pergi kemana?”
Tanya Arabella saat Lee sudah memasangkan jepitannya.
“New York.” Jawab Lee singkat. “Dengar,
Bells, ada satu hal lagi… kuharap kau tidak seperti kami, namun jika
kemungkinan terburuk terjadi aku ingin kau setidaknya tahu kemana harus pergi…”
Lee menyelipkan sebuah buku kartu
nama kecil ke tangan Arabella. “Jangan kau buka kecuali saat kau yakin bahwa
kau salah satu dari kami dan tempatmu sudah tidak aman lagi, kau mengerti?
Hanya buka ini saat keadaanmu sudah sangat darurat dan kau tak tahu lagi harus
pergi kemana.”
“A-apa maksudmu? Apa in…”
“Kau akan mengerti pada saatnya.”
Jawab Lee singkat, lalu tersenyum. “Maaf, aku tahu kau pasti bingung, tapi
semua ini demi keselamatanmu juga…”
Arabella mengangguk.
“Baiklah, jadi… janji?” Lee
mengulurkan kelingkingnya.
Arabella tersenyum kecil dan
mengaitkan kelingkingnya dengan Lee.
“Lee?” Arabella menatap anak
lelaki bermata biru di depannya. “Terima kasih.”
~end~
For Gerardien,
I love you, I'm sorry for the very late continuation of the cliffhanger
Though I love it when you're ranting, ho ho ho
Though I love it when you're ranting, ho ho ho
Comments
Post a Comment