Percy Jackson Fanfiction : Lee Fletcher, The Death of The Archer
Vala
memeluk dirinya makin erat. Berusaha mengenyahkan teriakan teriakan dari arah
medan peperangan yang sedang berlangsung. Chiron, Percy, Lee, bahkan Annabeth
telah menyuruhnya untuk tetap tinggal di luar medan perang dan tak perlu ikut
terjun ke sana. Mereka bilang dia akan dibutuhkan di posko penyembuhan. Tentu
saja itu benar, namun bukan berarti dia menyukainya.
Ini
bukan berarti Vala suka berada dalam medan perang. Sama sekali tidak.
Pengalamannya saat di labirin sudah cukup membuatnya bermimpi buruk berhari
hari.
Namun...
ada sesuatu yang mengganggunya. Sesuatu yang membuatnya gelisah dan ingin
sekali memantau keadaan perang di luar. Sesuatu pada Lee.
Sudah
sejak beberapa lama, Vala mulai memiliki firasat tidak enak setiap melihat Lee.
Bukan perasaan yang buruk, tetapi perasaan seolah dia ingin terus berada di
dekat kakak lelaki kesayangannya itu dan tak melepaskannya dari pandangan.
Oh,
tapi itu kan hanya firasat, perasaan. Mungkin begitu pikirmu. Tapi Vala adalah
putri Apollo, sang penguasa Oracle Delphi. Dia tahu betul bahwa perasaan
perasaan, juga firasat, adalah hal yang amat penting dan tak dapat diabaikan.
Dan
saat ini firasatnya seolah menggedor isi kepalanya, menjeritkan bahwa Vala
harus mencari Lee sekarang juga.
Vala
juga ingin segera ke medan perang, tapi dia berada di bawah pengawasan Silena.
Dia takkan bisa mengambil pegasus dan pergi begitu saja. Sedang tanpa pegasus,
nyaris mustahil menemukan Lee dalam medan.
Akhirnya,
Vala menguatkan dirinya. Dengan atau tanpa pegasus, dia takkan membiarkan ada
hal buruk yang terjadi pada Lee.
Perlahan,
Vala menyelinap ke belakang, menghindari hiruk pikuk posko penyembuhan yang
ramai. Berusaha agar tidak terlihat mencolok dan mencurigakan, terutama
menghindari Silena.
Vala
sudah berhasil keluar dari posko penyembuhan saat dirinya menabrak sesorang.
“Aduh,
ya ampun, kau ini buru buru sekali, perhatikan dong jalanmu.” gerutu gadis di
depannya sambil mengusap kepalanya yang beradu dengan kepala Vala.
Gawat,
Arabella. Bisa bisa dia melaporkanku pada Silena. Dia kan anggota kabin 10
juga. Pikir
Vala.
“Lagipula
apa yang kau lakukan di sini? Kau kan ditugaskan di dalam.” ujar Arabella lagi.
Vala
dengan cepat memikirkan kemungkinan kemungkinan yang ada untuk menjawab
pertanyaan Arabella;
- Di takkan bisa
berbohong, Arabella terlalu cerdas, dia takkan memercayai ucapan Vala
begitu saja.
- Jika Vala terus saja
berlari, dia akan melapor pada Silena dan dirinya dengan segera akan
ditarik lagi ke dalam.
- Vala bisa saja
dengan mudah mengalahkan Arabella. Satu pukulan tepat dan Arabella akan
pingsan untuk beberapa saat. Namun Vala tidak tega. Arabella kan gadis
yang ditaksir kakaknya, lagipula selama ini dia sudah baik sekali pada
Vala.
- Pilihan terakhir,
Vala harus berkata jujur. Mungkin saja dengan begitu Arabella akan
melepaskannya pergi.
Vala
menarik napas panjang, “Aku mendapat firasat buruk. Aku harus segera pergi
mencari Lee dan memastikan di baik baik saja. Aku tak bisa tinggal diam di
sini.”
Ekspresi
wajah Arabella sedikit berubah. “Apa maksudmu? Kau mendapat firasat buruk
tentang Lee? Apakah terjadi sesuatu padanya?”
“Aku
tak tahu. Karena itu aku ingin pergi untuk memastikannya. Kumohon, biarkan aku
pergi ya Bells? Aku khawatir pada kakakku.”
“Kau
tak berbohong soal ini kan?”
“Astaga,
tentu saja tidak, Bella! Ini soal kakakku!”
“Baiklah,
baiklah.” Arabella mengerucutkan bibirnya. “Akan kututupi kepergianmu. Hanya
saja...tolong pastikan keselamatannya untukku ya.”
Vala
tersenyum. “Pasti.”
-------------------
Perang
yang tengah berlangsung di dekat jalan masuk labirin nampak lebih parah
daripada pertarungan apapun yang pernah Vala saksikan. Semua nampak kacau.
Sepertinya perkemahan terdesak. Monster monster muncul seolah tanpa henti dari
dalam labirin. Vala tidak bisa menemukan Lee.
Vala
berhenti sejenak untuk berpikir. Lee memimpin pasukan pemanah. Pasukan pemanah
harusnya tak berada di tengah medan perang. Seharusnya mereka ada di tempat
tempat tinggi seperti...
Di
sana. Pepohonan.
Vala
dapat melihat di kejauhan sekumpulan demigod dengan busur dan anak panah sibuk
menembaki musuh musuh mereka di Kepalan Zeus. Masalahnya, satu satunya cara
untuk menuju ke sana adalah dengan melewati medan perang itu sendiri.
Aku
tak lemah,
pikir Vala. Aku sama sekali tak lemah. Annabeth sendiri mengatakan
bahwa aku adalah pengguna pedang kembar terbaik yang pernah dia temui. Oke,
mungkin dia belum banyak menemui pengguna pedang kembar, tapi Percy juga
mengatakan bahwa aku bagus.
Masalahnya,
apakah aku cukup berani?
Vala
menggigit bibirnya dengan ragu. Jemarinya sudah menempel di kedua cincin emas
yang melingkar indah di tangan kanan dan kirinya.
“Aku
bisa melakukannya. Jangan terlalu banyak berpikir. Bergerak saja. Aku harus
memastikan Lee baik baik saja.” Vala mengangguk dan mengusap kedua cincin yang
dipakainya. Dalam sekejap kedua cincin itu berubah menjadi dua pedang perunggu
langit yang bersinar di tangannya.
Vala
menarik napas dan berderap maju.
>>>>>>>>>
Lee
berteriak pada Michael, menyuruhnya untuk memanah Drakaena Aethiopia yang
menyerang salah seorang putra Ares. Michael mendengarnya dan memberikan aba aba
pada saudara saudaranya untuk membidik Drakaena itu. Mereka berhasil
mengenainya, tapi panah panah mereka hanya membuat monster itu marah.
Lee
meraih ke punggungnya untuk mengambil anak panahnya lagi. Sial, ini
yang terakhir.
Lee
menyiapkan anak panah terakhirnya, matanya yang awas berkeliling mencari target
yang tepat. Namun dia tak bisa memutuskan. Lee tak mengatakannya pada saudara
saudaranya, namun dia khawatir. Pasukan Kronos yang keluar lewat lubang labirin
itu terlihat datang terus menerus tanpa henti, sedangkan para demigod justru
makin berkurang karena anggota mereka yang gugur. Bahkan dengan dibantu oleh
para satir, dryad, dan sang raksasa bertangan seratus Briares, kemungkinan
mereka menang masih sangat kecil.
Akhirnya
Lee menggunakan anak panah terakhirnya untuk memanah sesosok Laistrygonian yang
menyerang ke arah Beckendorf dari kabin 9.
“Aku
kehabisan anak panah. Aku akan turun. Will, kau yang bertanggung jawab.”
ujarnya sambil meraih sebuah perisai.
Will
mengangguk sambil terus memanahi pasukan Kronos. Dia meneriakkan beberapa
perintah pada saudara saudaranya.
Lee
mencabut pedangnya dan berderap menuju pertempuran. Dia menebas anjing neraka
pertama yang berusaha menerkamnya. Lee berguling untuk menghindari pukulan
raksasa Laistrygonian yang berteriak marah lalu menghantam raksasa itu dengan
perisainya, segera setelah Laistrygonian itu jatuh limbung, Lee menusuknya dan
membuat Lasitrygonian itu tak berkutik.
Pandangan
Lee tertumbuk pada seorang demigod yang berbaju zirah berlambang Kronos. Pengkhianat. Pikirnya
marah.
Demigod
itu sedang bertarung dengan Castor, salah seorang putra Dionysus. Namun
pertarungan itu tak bertahan lama. Demigod musuh itu menikam bahu
Castor dan menghantamn kepalanya keras dengan gagang pedangnya. Castor tak lagi
bergerak.
Lee
berteriak marah dan menyerang demigod itu. Demigod itu berbalik dan menangkis
serangan Lee. Lee sangat terkejut saat melihat wajah blasteran itu. Alan. Sahabatnya sejak
perjalanan mencari Perkemahan Blasteran. Namun Alan tak pernah kembali ke
perkemahan sejak dua musim panas lalu. Semua pekemah kabinnya
mengira dia sudah tewas diburu monster, mereka mengadakan penghormatan untuknya
di Aula Makan. Tapi ternyata, dia justru berbalik mengkhianati mereka.
Bergabung dengan pasukan Kronos.
“Alan!
Kau pengkhianat! Kami kira kau sudah tewas! Kami mengadakan penghormatan
untukmu!”
Alan
memandang Lee dengan pandangan yang aneh. Lelah, marah, penuh kebencian. “Kau
yang tolol! Kau masih saja mau dijadikan barikade untuk para dewa terkutuk itu!
Kau harusnya sadar bahwa para dewa itu hanya menggunakan kita para blasteran.
Mereka takkan ada apa apanya tanpa kita!”
Sambil
terus bertarung, Lee menjawab, “Dan Kronos tidak memanfaatkanmu, begitu?”
“Para
dewa tidak pernah menghargai keadaan kita, Fletcher! Hermes, Apollo, Hephaestus,
tak
pernah ada
yang peduli
pada kita! Kronos dan Luke menjanjikan kemuliaan bagi pahlawan mereka!” teriak Alan,
menyerang Lee dengan begitu kuat hingga perisai Lee terlepas dari lengannya.
“Dan
kau sebegitu naifnya untuk percaya?” balas Lee sambil menyerang lagi. Alan
menangkis serangan itu dengan perisainya lalu berhasil menyabet lengan Lee.
Darah mulai mengalir dari luka yang ditorehkan Alan.
“Apakah
kau sebegitu lemahnya untuk bisa melawan dan menuntut hak serta penghormatan
yang harusnya kita dapatkan sejak dulu?” teriak Alan berapi api. Lee
memanfaatkan kelengahan Alan dan menyambar perisainya. Dia melemparkan dirinya
ke arah Alan dan menghantamkan perisainya dengan kuat ke arah Alan. Demigod itu
terkapar jatuh.
Lee
bangkit sambil terengah. Matanya kembali berkeliling dan terhenti dengan
terkejut pada satu sosok yang sedang berusaha berjalan menembus medan ke arah
hutan. Dua pedang terhunus di kedua tangannya. Dia mampu menghindar dan
melindungi dirinya sendiri, tapi dia tak berusaha bertarung dengan apapun. Dia
berusaha berjalan melewati medan tanpa menyerang apapun. Hanya berusaha
melindungi dirinya sendiri.
“Vala!”
teriak Lee. Namun jarak mereka terlalu jauh. Vala tak bisa mendengarnya. Lee
mengumpat dan bergegas bangkit. Dia meringis saat beban perisai menekan luka di
tangannya. Lee meninggalkan perisainya begitu saja dan berlari ke arah Vala.
Lee
sudah dapat melihat sesosok anjing neraka yang mengejar Vala. Matanya menyapu
sekeliling dengan cepat. Mencari Percy atau siapapun yang bisa dipanggil untuk
membantu Vala. Lee terlalu jauh. Namun Percy sedang disibukkan oleh sesosok
Drakaena. Pusaran air mengelilinginya sebagai perisai sekaligus senjata. Teman
Vala, putra Hades, Nico, juga nampaknya sibuk, pedang besi Stygiannya yang
hitam menghujam ke tanah dan sebuah retakan muncul dari dalam tanah,
memunculkan tentara tentara zombie yang mengerikan. Lee tak dapat melihat
siapapun yang bisa membantu Vala di dekatnya.
Namun
ternyata Vala tak butuh bantuan. Gadis itu berbalik saat mendengar geraman si
anjing neraka dan menghindar tepat pada waktunya. Lalu, dengan teriakan marah,
tanpa ragu dia menusukkan kedua pedangnya dalam pada anjing neraka itu.
Lee
berlari menghampiri adiknya, “Vala...”
Vala
langsung memeluk Lee. “Lee! Kau tak apa apa? Aku khawatir...”
“Vala,
harusnya aku yang bertanya padamu! Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah aku
menyuruhmu untuk tetap di posko penyembuhan? Apa kau baik baik saja? Kau baru
saja membunuh seekor anjing neraka.”
“Aku
benci anjing neraka. Mereka pernah mencoba membunuhku saat... Awas, Lee!” Vala
menarik Lee menghindar dari pukulan Laistrygonian yang ukurannya bahkan lebih
besar dari kawanannya.
Mereka
berguling menghindari raksasa itu. Lee mengerang tertahan saat tangan Vala
mencengkeram tangannya yang terluka, namun dia segera bangkit dan bergerak
melindungi adiknya.
Vala
juga segera bangkit dan berdiri bersisian dengan kakaknya. Kedua pedangnya
siaga di tangannya. “Ma-maafkan aku, kak. Tanganmu...”
“Aku
tak apa. Dengar, Val, kau pengguna pedang yang lebih baik dariku. Kau tak boleh
takut. Jangan berpikir saat kau membunuh monster monster itu. Bayangkan saja
apa yang akan mereka lakukan pada perkemahan dan teman temanmu jika kau tak
menghentikan mereka. Jangan ragu ragu. Mengerti?”
Vala
mengangguk pelan.
“Baiklah,
kita serang bersama sama. Aku akan melindungimu. Begitu kau melihat kesempatan,
musnahkan Laistrygonian itu.” ujar Lee.
Dan
mereka menyerang bersama. Lee melangkah ke depan Vala. Memancing si raksasa.
Raksasa itu teralihkan dan mengarahkan pukulan ke arah Lee, namun tepat saat
itu Vala muncul di sampingnya dan menyabetkan dua pedangnya pada raksasa itu.
Raksasa itu berteriak kesakitan namun segera mengayunkan pukulannya lagi, kali
ini ke arah Vala.
“Vala!”
teriak Lee.
Namun
Vala memiliki refleks yang sangat baik. Gadis itu menjatuhkan dirinya dan
berguling ke samping menjauhi si raksasa.
Lee
kembali maju dan menyerang. Namun gerakannya kini melambat karena darah yang
terus mengalir dari lengannya dan rasa sakit yang terus berdenyut denyut dari
lukanya tersebut. Konsentrasinya agak mengabur dan refleksnya tak sebaik tadi.
Raksasa
itu menangkis pedang Lee dan membuatnya terlempar jauh. Tangannya yang satu
berusaha mencengkeram leher Lee, namun Lee berhasil menghindar.
Vala
berseru memanggilnya dan melemparkan salah satu pedangnya pada Lee. Dia lalu
segera menyerang raksasa itu untuk mengalihkan perhatiannya.
Lee
menangkap pedang Vala dengan mulus dan bergegas bangkit di atas kakinya. Vala
sedang berusaha mengalihkan perhatian raksasa itu dari Lee. Berkali kali dia
bergerak seolah akan menusukkan pedangnya pada raksasa itu, namun lalu mundur
kembali. Hanya memancing si raksasa. Hal itu nampaknya berhasil, karena si
raksasa meraung marah sekarang.
Raksasa
itu sudah hendak melompat ke arah Vala saat tiba tiba saja Lee menyerangnya
dari belakang, menusukkan pedang Vala ke sisi kiri tubuh makhluk itu.
Membuatnya mengerang kesakitan dan jatuh berlutut.
Lee
melepaskan pegangannya dari pedang yang masih menancap di tubuh raksasa itu dan
mundur sambil terengah.
Namun
Lee puas terlalu cepat. Raksasa itu berteriak lagi dan dengan kecepatan
mengejutkan memutar tubuhnya ke belakang sambil mengayunkan pemukulnya ke arah
Lee. Tak mampu menghindar kali ini, tongkat pemukul itu menghantam Lee dan
membuatnya terlempar beberapa meter.
Vala
menjerit dengan perasaan campur aduk; panik, kaget, marah, takut, khawatir. Dengan
energi baru, Vala berlari ke arah raksasa itu dan melompat ke punggungnya,
membuat raksasa itu tersungkur. Dia menusukkan pedangnya ke tubuh raksasa itu
sambil menekan pedangnya satu lagi yang masih tertanam di tubuh si raksasa.
Raksasa
itu berteriak lagi dan jatuh berdebam ke tanah. Kali ini, tak bangkit.
Putri
sang Matahari telah menemukan keberaniannya.
Vala
segera bangkit berlari menuju kakaknya tanpa repot repot mencabut kedua
pedangnya.
Dia
berlutut di sebelah Lee dan meraih tangannya. Menggenggam tangan Lee erat
sambil memanggil namanya. Air mata mengalir di pipinya meskipun Vala sudah
berusaha menahannya. Pojok pikirannya tak henti mengatakan bahwa firasatnya
memang benar. Bodohnya dia tidak segera membawa Lee ke tempat yang lebih aman
sejak tadi.
“Bukan...
salahmu.”
gumam Lee. Napasnya tersengal. Darah mengalir dari mulut dan sisi kepalanya.
“aku tahu... kau sudah merasakannya... ajalku... aku juga...”
Lee
terbatuk dengan suara mengerikan. Darah mengalir lagi dari mulutnya.
“Lee,
hentikan. Jangan bicara lagi.” isak Vala. “Kent! Kent! Panggilkan tim medis!
Cepat!” teriak Vala pada salah seorang saudaranya yang berlari mendekat pada
mereka. Kent mengangguk dan segera berlari pergi.
“Tidak...
dengarkan... bukan salahmu.” Lee menekankan sambil berusaha mengatur napasnya.
“apapun yang kau lakukan... kau takkan bisa... mengubahnya... sudah...
takdirku...”
“Lee..”
“Rusukku...
beberapa patah... aku... bisa merasakannya... pendarahan... di kepalaku juga...
cukup parah.” Lee menggertakkan gigi menahan rasa sakit.
“Kumohon
jangan bicara lagi, kak. Tolonglah. Aku akan memulihkanmu.” ujar Vala sambil
menangis, dinyanyikannya himne penyembuhan. Berusaha agar Lee tetap bertahan,
setidaknya hingga datang pertolongan.
Lee
mendesah dan memejamkan matanya selama beberapa saat, “Val, tolong katakan pada
Bella... katakan padanya...”
“Diam,
Lee, diam. Kau harus mengatakannya sendiri pada Bella. Kau harus mengatakannya
secara langsung.”
“Kau
benar... seharusnya aku tak menunda...” wajah Lee mengernyit. “Harusnya aku
mengatakannya pada Bella sejak dulu.”
“Mengatakan
apa?”
Arabella
berdiri tak jauh dari mereka. Pegasusnya berada beberapa langkah di
belakangnya. Arabella yang sedang berpatroli di atas pegasus melihat Kent
berlari ke arah posko penyembuhan. Saat dia mengalihkan pandangan ke arah Kent
datang, darahnya seolah membeku. Perasaannya memang sudah tidak keruan sejak
tadi. Dan lalu, dia melihat Lee. Lee-nya. Bersimbahan darah di tengah medan
pertempuran.
“Bells.”
“Bella.”
“Mengatakan
apa?” ulang Arabella. Masih menjaga jarak dari Lee. Tubuhnya gemetaran dan Vala
tahu dia menahan tangis.
Lee
mengulurkan tangannya ke arah Arabella. “Mendekatlah.”
Vala
mundur perlahan, membiarkan Lee dan Arabella mendapatkan privasi mereka. Dia
melangkah mencabut pedang kembarnya. Bertekad menjaga agar tak ada yang
mengganggu momen yang kemungkinan besar adalah momen terakhir kakaknya dengan
gadis yang disayanginya.
Arabella
menarik napas dan menguatkan dirinya, lalu mendekat dan berlutut di sisi Lee.
Kedua tangannya masih terkepal erat, menandakan perasaan yang ditahannya.
“Mengapa
kau menangis? Jangan menangis.” ucap Lee sambil mengusap lembut setetes air
mata yang lolos ke pipi pucat Arabella. Entah karena himne penyembuhan Vala
atau mungkin karena faktor faktor lain, suara Lee terdengar lebih jelas,
napasnya juga tak tersengal lagi.
Arabella
tak menjawab. Dia tahu tangisnya akan meledak jika di bicara.
“Ayolah
Bells, come stop your crying, you'll be alright...” senandung Lee.
“Jangan
bicara.” jawab Arabella singkat. Beberapa bulir air mata jatuh ke pipinya.
“Ayo,
lanjutkan... lagunya. Aku pernah... menyanyikannya untukmu, kan?” Lee sedikit
tersengal lagi.
“Just
take my hand hold it tight...” lanjut Arabella sedikit terisak. Semata
tak sanggup melihat Lee dalam keadaan seperti sekarang.
“I
will protect you from all around you...” Lee meremas tangan Arabella
“I
will be here don't you cry...” Arabella merebahkan dirinya perlahan di
sebelah Lee. Matanya tak lepas dari wajah Lee.
“Aku
tak menangis.” Lee berusaha tertawa. Namun akibatnya dia terbatuk dan darah
mengalir lagi dari mulutnya.
Lee
mengusap lembut wajah Arabella. “For one so small, you seem so
strong...”
“My
arms will hold you keep you safe and warm...” bisik Arabella, kini
membiarkan saja air matanya terus mengalir.
“This
bond between us can't be broken...” Lee memandang Arabella lekat. “I
will be here don't you cry.”
“Lanjutkan,
Bells.” ujar Lee tersengal.
“Cause
you'll be in my heart, yes you'll be in my heart... from this day on... now and
forever more...” Arabella terisak dan memjamkan matanya, tangannya
menggenggam tangan Lee lagi. “You'll be in my heart... no matter what they
say, you'll be here in my heart always... Always...”
“Bells.”
panggil Lee. Arabella membuka kelopak matanya yang bergetar dan menatap mata
Lee yang tengah memandang tepat ke matanya. Mata Lee terlihat begitu indah,
begitu cerah. Wajahnya tersenyum, meskipun sisi mulutnya bernoda darah.
“S'agapo.” bisik Lee lalu memejamkan
matanya, senyum masih terukir di bibirnya.
Tangis
Arabella pecah dan dia merengkuh tubuh Lee yang sudah tak bernyawa. Tangis
pilunya beriringan dengan jeritan Panic yang dikeluarkan
Grover.
Vala
yang langsung tahu bahwa saudaranya sudah meninggal jatuh berlutut dan menjerit
marah. Seiring dengan jeritannya, api keemasan muncul dan menyelimuti tubuhnya.
Api sang Matahari telah bangkit.
Diiringi
teriakannya, Vala bangkit dan menyerang pasukan Kronos yang sudah kocar kacir
karena jeritan Panic. Mereka tak punya harapan.
Sedangkan
Arabella masih menangis sambil memeluk tubuh Lee. Dia merasa sakit. Seolah olah
seseorang telah mencabut hatinya bersamaan saat Lee menghembuskan napas
terakhirnya. Dia ingin menjerit, mencakar tanah, mengepalkan tangan ke udara
mengutuki para dewa, namun dia tak sanggup melepaskan Lee dari genggamannya.
Arabella
ingin dirinya saja yang mati dan bukan Lee. Dia tak ingin Lee mati. Dia ingin
Lee hidup kembali. Ditukar dengan nyawanyapun akan dengan senang hati dia
lakukan. Dia akan melakukan apa saja agar Lee bisa hidup kembali.
Tapi
tak ada yang bisa dilakukan.
Akhirnya,
Bella hanya mengecup kening Lee dan berbisik di telinganya, meskipun dia tahu
Lee takkan pernah bisa mendengarnya.
“Aku
juga mencintaimu, selalu...”
>>>>>>><<<<<<<