Percy Jackson Fanfiction : Lee Fletcher-Arabella Deshoulieres
Vala
Vala mendaratkan pegasusnya dengan perasaan luar biasa
lega di Perkemahan Blasteran. Chiron, saudara-saudaranya dari kabin Apollo dan
seorang satir tua yang dirasanya bernama Silenus menyambut kedatangannya dan
gerombolannya.
“Trims, Porkpie.” Vala mengusap leher pegasus itu dengan
sayang. Porkpie meringkik sedikit dan mendengus, seolah mengatakan, “Ini bukan apa-apa tapi jangan ajak
bocah itu ya lain kali.”
Vala menoleh ke belakangnya, Nico masih terlihat tidak
nyaman.
“Nico? Kita sudah sampai. Tidak apa apa. Turunlah.”
Nico terdiam dan berusaha turun dari punggung Porkpie. Si
pegasus mendengus lega saat kaki Nico menginjak tanah.
“Hey, Porkpie. Jangan kasar begitu.” Ujar Percy di sisi
Blackjack. “Nico nggak seperti itu.”
Kadang-kadang Vala pikir asyik sekali menjadi anak
Poseidon. Bayangkan saja, kekuatan mengendalikan berbagai jenis air, tahu
koordinat saat terombang ambing di tengah lautan, bernapas dalam air dan bahkan
tidak perlu basah. Juga berbicara pada pegasus dan kuda dan zebra dan segala
macamnya.
“Vala.”
Vala menoleh dan melihat kakaknya, Lee Fletcher. “Oh, hai
Lee.”
Lee tersenyum padanya namun Vala menyadari ekspresinya
sedikit aneh. Ditatapnya Lee dengan kening berkerut, “Kau baik-baik saja?”
“Demi dewa-dewa, harusnya aku yang bertanya apa kau baik-baik saja.
Lihat dirimu babak belur seperti itu. Kau pikir aku tidak khawatir selama ini
saat kau menjalani misimu? Kau pikir... Astaga...” Lee memegangi kepalanya.
“Maafkan aku, aku hanya lega kau pulang dengan selamat.”
Vala tertawa kecil dan memeluk kakaknya. “Kau
mengingatkanku pada ibunya Percy. Caramu berbicara seperti itu mirip sekali
dengannya.” Vala melepas pelukannya. “Dan aku baik-baik saja, kak. Terima
kasih.”
Lee tersenyum kecil. “Aku lega.”
“Jadi...” Vala melihat sekeliling, Percy sedang menceritakan
tentang misi mereka kepada Chiron dan yang lain. Annabeth dan Nico berada di
sisinya. Ugh, Vala bergeridik. Dia tidak mau mengingat-ingat pengalamannya di
labirin itu. Sebentar lagi hampir pasti bahwa perkemahan akan diserang. Vala
ingin menenangkan pikirannya sebentar saja. Lebih baik dia memfokuskan
pikirannya pada hal yang lain. Seperti... menggoda Lee.
“Jadi, apa saja yang kulewatkan selama mejalani misi? Kau
sudah jadian dengan Bella?” Tanya Vala dengan ekspresi jahil, ditariknya tangan
kakaknya menjauhi kerumunan. Vala melambai membalas lambaian Will dan Kent yang
tersenyum. Mereka sudah siaga dengan busur mereka. Paham bahwa perkemahan
mereka berada di ambang perang, namun masih sempat memberikan dukungan moral
pada Vala.
“Vala!” desis Lee tertahan.
“Hey, aku hanya bertanya. Dan kau hanya tinggal jawab,
sudah atau belum? Memangnya sulit menjawab pertanyaan adikmu ini?”
Lee menatap Vala. “Kau itu terkadang bisa jadi sangat
menjengkelkan, kau tahu?”
“Oh, aku memang berusaha.” Jawab Vala dengan ekspresi
tidak pedulinya yang khas. “Jadi?”
Lee menggeleng.
“Eeeh, gelenganmu berarti kau belum menyatakannya atau
kau ditolak?”
“Belum...”
“Ya ampuun! Jadi kau masih belum melaksanakannya juga?”
Vala menepuk keningnya dengan dramatis. “Lee Fletcher sang pemanah terbaik
dalam milenia ini ternyata seorang pengecut.”
“Aku bukan pengecut! Aku hanya.... menanti waktu yang
tepat.”
Vala memutar bola matanya, “Oh, dan dia adalah orang yang
sangat klise.”
“Kak, sampai kapan kau mau bertahan dalam argumen,
'menanti waktu yang tepat'-mu? Siapa yang tahu kapan waktu kita akan berakhir?
Jika kau mau melakukan sesuatu yang penting, lakukan dengan sempurna dan
lakukan dengan segera, sekarang, saat ini juga. Atau kau akan menyesalinya
nanti.” Vala berkedip seolah tersadar, “Ooo-kee aku bahkan terdengar lebih
klise barusan.”
Lee tersenyum dan mengacak rambut Vala. “Akan kupikirkan
nanti. Sekarang aku harus rapat dengan Chiron dan yang lain. Oh, dan sepertinya
kau harus menemani teman kecilmu itu, siapa, Nico? Dia sepertinya membutuhkan
secangkir nektar. Hmm, kau juga membutuhkannya.”
“Baiklah. Jangan berpikir- pikir terlalu lama, ya.”
Lee menyunggingkan senyum sebelahnya dan tertawa kecil.
Wajahnya seolah bersinar di mata Vala. “Selamat tinggal, Val.”
“Daah.” Ujar Vala. Namun tak urung dia memandangi
punggung kakaknya itu selagi dia berbalik menuju rumah besar untuk mengikuti
rapat. Entah mengapa rasanya agak berat saat dia memandang Lee pergi menjauh.
Kenapa juga dia mengatakan 'selamat tinggal' dan bukan
'sampai jumpa'? Vala menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak. Jangan berpikiran
aneh aneh lagi. Lee akan baik-baik saja. Dia pasti akan baik baik saja. Jangan
konyol, Vala.
“Vala? Kau yakin kepalamu baik-baik saja?”
Vala menoleh dan tersenyum pada Nico yang memandangnya
dengan mata sedikit menyipit.
“Selain kegilaan normalku? Aku yakin aku baik baik saja
jangan khawatir.” Jawab Vala sambil tertawa kecil. “Tapi kurasa wajahmu agak
pucat. Ayo, kau butuh secangkir nektar dan mungkin beberapa gigit ambrosia.
Ikuti aku.”
>>>>>>>>
Arabella
“Silena, kau dipanggil untuk menghadiri
rapat bersama Chiron.” Ujar Drew menghampiri Silena dan Arabella yang sedang
menyortir baju-baju zirah.
“Oh, baiklah. Drew, kau bantu Bella
menyortir baju-baju zirah ini, ya. Aku pergi dulu.”
Arabella seolah tersengat mendengar perkataan Silena, “Eh, ti... tidak
usah. Aku bisa melakukannya sendiri kok Silena, jangan khawatir.” Arabella tahu
Silena bermaksud baik, namun mengerjakan sesuatu hanya berdua dengan Drew? Sama
saja cari mati.
“Oh, tidak apa-apa sayang. Aku dengan senang
hati akan membantumu. Kau tak perlu khawatir, Silena.” Ujar Drew sambil
tersenyum manis pada Silena.
O-ow. Pikir Arabella khawatir. Jika
Drew tersenyum seperti itu maka aku bisa dipastikan berada dalam masalah besar.
Silena tersenyum dan mengangguk. “Baguslah. Aku pergi dulu ya.” Ayolah Silena, ini Drew kau tahu?
Jangan tinggalkan aku berdua dengannya, pikir Arabella. Tapi Silena memang
terlalu baik. Dia nyaris tak pernah menaruh curiga pada siapapun.
“Daah Silena.” Drew melambai ke arah
kakaknya. Lalu saat dirasanya Silena tidak akan bisa melihat mereka lagi, Drew
menoleh sambil tersenyum dan mengetukkan jemari ke dagunya.
“Nah, Bella sayang. Apa ya yang harus
kulakukan padamu?”
“Apa maksudmu? Kita... kita harus menyortir baju
baju zirah itu kan?” tanya Arabella berusaha mengendalikan kepanikannya.
“Hmmm... kau klaustrofobik kan?”
“Ti... tidak! Aku...”
“Berarti benar ya. Hmmm, kalau tidak salah
aku melihat beberapa peti bekas menyimpan berbagai barang tua yang sudah kosong
tadi.” Drew melihat ke arah beberapa anak Aphrodite yang tak jauh dari sana.
“Aphrodite!” Panggil Drew sambil menepukkan
tangannya. Arabella bisa merasakan suara Drew penuh dengan kekuatan charmspeak-nya. “Kalian, bantu
aku bawakan peti kosong bekas menyimpan peralatan dari loteng dan bawa ke sini
segera. Dan kalian... ikat Bella kecil kita dan pastikan kau menyumpal mulutnya
dengan rapat.” Drew tersenyum manis seolah apa yang dikatakannya memang sudah
seharusnya. Charmspeak-nya
begitu kuat hingga Arabella juga merasakan sedikit dorongan untuk membiarkan
saja saudara saudaranya mengikat dan menyumpal mulutnya.
“Bagus sekali! Ikatannya sudah kuat, yep.
Mulutnya sudah disumpal dengan kuat juga, yep. Nah, tinggal menunggu peti
kita.” Ujar Drew sambil tersenyum cerah pada Arabella yang meronta ronta sambil
berusaha melepaskan ikatannya. “Ah, itu mereka datang. Ayo cepat anak-anak. Dan
ingat, hal ini akan menjadi rahasia kita dan hanya kita. Kalian tahu apa
yang bisa kulakukan jika kalian melanggar, kan? Patuhi - perintahku.” Ujar Drew
dengan charmspeak yang bahkan lebih kuat lagi.
Para anggota kabin Aphrodite yang tenggelam dalam pengaruh charmspeak Drew hanya bisa mengangguk.
“Ayo, bergerak. Sekap dia dalam peti itu.
Oh, dan supaya lebih seru...” Mata Drew berkilat kejam. “Lemparkan petinya ke
sungai.”
Beberapa anak Aphrodite mulai nampak gelisah dan tidak melakukan perintah
Drew.
“Aku bilang,” Desis Drew dengan kekuatan
penuh charmspeak-nya.
“Lemparkan petinya ke sungai, saudara-saudaraku tersayang. Sekarang.”
Bagaikan robot, para anggota kabin Aphrodite melaksanakan perintah Drew.
Arabella berusaha menjerit saat saudara-saudaranya mengangkat tubuhnya dan
melemparkannya ke dalam peti sempit itu, namun mulutnya disumpal terlalu kuat.
“Itulah balasannya karena kau masih saja
mendekati Lee. Aku sudah berkali kali memperingatkanmu tapi kau tak pernah
mendengarkan.” desis Drew, dia mendekatkan wajahnya pada Arabella. “Selamat
tinggal, adik kecil...”
Dengan panik Arabella berusaha melepaskan diri dan bangkit, namun Drew
mendorong tubuhnya kembali ke dalam dan dengan cepat menutup peti itu.
Gelap.
Sempit.
Sesak.
Arabella merasa sulit untuk bernapas. Dia terjebak. Dia tak bisa bergerak.
Arabella bisa merasakan adrenalin mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Dia mau
keluar, dia tidak bisa terus terusan di dalam benda ini, dia bisa mati.
“Mmmmpphh!” Dia berusaha menjerit. Tapi
tentu saja tak ada yang bisa mendengarnya. Mulutnya disumpal terlalu rapat.
Sesaat kemudian, Arabella merasakan guncangan peti yang mengurungnya
melambat. Dia sempat berharap bahwa akhirnya ada yang melihat anak-anak
Aphrodite menggotong sebuah peti besar kesana kemari dan merasakannya janggal.
Namun ternyata semuanya justru menjadi lebih buruk.
Arabella merasakan tarikan kuat ke satu sisi peti, lalu tiba tiba saja
tarikan itu menghilang dan Arabella merasakan seolah bobotnya menghilang. Lalu
tiba tiba saja sebuah hentakan keras mengguncangnya. Arabella masih merasakan
peti itu bergerak-gerak, namun gerakannya sekarang agak berbeda. Lebih halus,
lebih berirama...
Dan Arabella tersadar tiba tiba. Aku
sudah dilemparkan ke sungai...
Dengan pikiran yang mengerikan itu, Arabella menjerit dan memberontak
semakin keras. Kakinya berusaha menendang nendang bagian atas peti. Namun
begitu dia sadar bahwa hal itu tak memperbaiki keadaan, justru memperparahnya
dengan gerakan peti yang semakin membuat mual serta kemungkinan peti itu rusak,
bocor, dan menenggelamkannya, Arabella menghentikan gerakannya dan memeluk
dirinya erat erat untuk mencegah dirinya bergerak panik lagi. Pasrah atas apa
yang akan terjadi. Dia hanya berharap Drew akan mengasihaninya.
>>>>>>>>
Lacy
Lacy berlari menjauhi gerombolan anak Aphrodite yang menggotong peti berisi
Arabella. Dia berlari setelah memastikan bahwa Drew maupun saudara saudaranya
tak memperhatikan. Kepalanya terasa berat dan kakinya seolah berontak, ingin
mengikuti suara Drew yang memukau.
Tidak boleh, bentaknya pada diri sendiri. Itu
salah. Itu perbuatan Drew. Kau tidak boleh melakukannya.
Lacy berlari melewati jembatan dan merasakan langkahnya mulai meringan.
Namun kepalanya masih terasa berkabut dan Lacy merasa tak bisa berpikir jernih.
“Harus menemukan...seseorang.” gumamnya
sambil terhuyung berjalan ke arah kabin kabin.
Namun kabin nampak sepi dan lengang. Seluruh demigod sedang bertugas dan
menyebar ke berbagai tempat di perkemahan.
“Lacy!”
Lacy menolehkan kepalanya ke arah suara itu. Seorang gadis dan seorang anak
lelaki mendekatinya. Dia kenal wajah itu, namun kepalanya seolah menolak
bekerja sama.
“Lacy!” panggil gadis itu lagi. “Lacy, kau
tak apa apa? Pandanganmu tidak fokus, apa yang terjadi?”
Gadis itu mendekati Lacy dan memegangi tubuhnya. Perlahan kehangatan mulai
menjalari tubuh Lacy. Seolah mengangkat kabut yang menyelimuti kepalanya.
“Vala...” tiba tiba Lacy tersadar.
“Arabella! Kau harus menolongnya! Danau. Drew. Charmspeak. Dalam peti. Astaga,
cepatlah!” seru Lacy panik. Kata katanya tercampur aduk dan tidak jelas.
Vala sesaat nampak bingung, masih berusaha menenangkan Lacy. Namun si anak
lelaki menyentakkan tangan Lacy dan menatapnya dengan mata hitamnya.
“Tenanglah. Jelaskan apa maksudmu pada
kami.” Ucapnya dengan tegas.
Lacy terpana sesaat, menatap si anak lelaki dan baru menyadari kalau cowok
itu cute banget. Dia baru akan memberi anak
lelaki itu nomor telponnya kalau saja dia tidak teringat soal keadaan Arabella.
Lacy menarik napas dan berusaha menceritakan ringkasan kejadian tadi
sejelas dan sesingkat mungkin.
Mata Vala melebar saat memahami cerita Lacy dan memotong perkataan putri
Aphrodite itu.
“Lacy, kau pergi ke Rumah Besar dan panggil
Lee. Aku akan pergi ke danau.” perintahnya.
“Tunggu, Vala, bagaimana denganku?” tanya si
anak lelaki.
Vala mengibaskan tangannya tanpa benar benar peduli, “Istirahat saja atau
apalah terserah padamu.” Dia sudah berlari seperti kesetanan menuju ke arah
danau.
“Eh...kau bisa ikut denganku.” tawar Lacy pada
si anak lelaki. Tunggu, sepertinya dia pernah melihat anak itu...
“Kurasa lebih baik aku membantu Vala.”
ujarnya sambil mengangguk pada Lacy, lalu mengejar Vala ke arah danau.
Lacy mendesah kecewa. Merasa gagal sebagai putri Aphrodite. Namun sekarang
dia memiliki hal lain untuk dikhawatirkan. “Aku harus segera menemui Lee...”
>>>>>>>
Lee
Lee masih sibuk memberikan beberapa instruksi pada Will dan Michael ketika
seorang gadis manis berbehel menghampirinya sambil terengah. Lee ingat
sepertinya dia salah satu saudari Arabella. Dia tersenyum, ingin menanyakan apa
yang bisa dia bantu, namun gadis itu keburu menyerocos duluan.
“Lee, Arabella... butuh...pertolongan... di
danau... kurungan...peti.... cepatlah!” serunya sambil terengah engah.
Indera Lee langsung siaga begitu mendengar nama Arabella. Dan seluruh
tubuhnya makin tegang saat mendengar bahwa Arabella butuh pertolongan.
“Michael, ambil alih komando para pemanah.
Will, katakan pada Chiron aku akan terlambat untuk rapat, wakili aku.” ujarnya
cepat dan tegas lalu menoleh ke arah si gadis Aphrodite. “Tunjukkan di mana.”
Si gadis Aphrodite mengangguk dan berbalik menuju ke arah danau. Lee
berlari di sampingnya, agak tak sabar karena lari gadis itu dirasanya pelan
sekali. Akhirnya Lee mendahuluinya ke arah danau.
Setibanya di sana, dia melihat Vala. Wajahnya pucat dan dia sedang berusaha
menyeret Nico keluar dari danau.
“Vala!” panggil Lee. “Di mana...”
“Di tengah danau!” seru Vala sebelum Lee
menyelesaikan ucapannya. “Cepatlah, Lee. Bella klaustrofobik!...”
Lee menyuruh gadis Aphrodite yang terengah di belakangnya untuk membantu
Vala menarik keluar Nico. Dirinya sendiri melangkah seolah melayang, matanya
terpaku pada sebuah peti kayu yang separuh mengapung di tengah danau.
Bells, pikirnya. Bells ada di
dalam situ. Bagaimana...
Tapi sekarang bukan saatnya untuk menyelidiki itu. Dia harus menolong
Bella.
“Erato!” panggilnya pada pemimpin naiad
sahabatnya. “Erato, bantu aku!”
Erato muncul di pinggir danau dekat Lee. Wajahnya nampak marah.
“Aku dan saudari saudariku sudah berusaha
membantu gadis itu. Kami sudah mendorongnya perlahan ke pinggir danau. Namun
tiba tiba saja seorang blasteran menyerang kami.” matanya menatap marah ke arah
Nico yang sedang dirawat oleh Vala. “Kami menyukai saudarimu dan kami tahu dia tak
berniat buruk pada kami. Namun blasteran yang bersamanya itu. Hawanya buruk
sekali.”
“Baik baik, maafkan Nico, oke? Sekarang aku
akan berenang kesana dan aku ingin kau serta saudari saudarimu membantuku
menarik Bella.”
Erato mengangguk. Nampak tidak terlalu marah lagi. “Kami mengerti. Kami
akan membantumu.”
Lee mengangguk dan langsung menceburkan dirinya ke danau. Berenang dengan
cepat ke arah peti kayu berisi Arabella.
Lee memegang sisi sisi peti kayu itu. Menahannya agar tetap diam sebisa
mungkin.
“Bells!” seru Lee, salah satu tangannya
mencabut belatinya. “Bells, dengarkan aku. Aku akan mengeluarkanmu dari sini,
oke? Jangan khawatir, aku akan memegangimu saat kau keluar dari peti. Sekarang
jauhi sisi ini.” sebelah tangan Lee memukul sisi kanan peti itu. “Aku akan
membuka peti dari sisi ini dan aku akan menancapkan belatiku di sisi ini. Jauhi
sisi ini.”
Terdengar jawaban tertahan dari dalam peti.
Demi dewa-dewa, apakah mulutnya juga disumpal? Pikir
Lee. Panik dan amarah memenuhi dirinya. Kalau
aku tahu siapa yang melakukan ini pada Bells... kalau aku tahu... akan kuhajar
dia habis habisan.
“Erato! Tahan peti ini. Aku akan
menghancurkannya.” seru Lee. Tubuhnya yang berada di dalam air dapat merasakan
perubahan arus air tanda bahwa Erato dan saudari saudarinya sedang bergerak
sesusai perintahnya.
Lee menancapkan belatinya ke sisi peti tersebut. Berhati hati agar tidak
menancapkannya terlalu dalam dan mengenai Arabella. Dicungkilnya pasak pasak
yang membuat peti itu tertutup rapat sekuat tenaga. Telapak tangan Lee sudah
kebas dan sedikit berdarah saat akhirnya sisi peti itu terbuka. Lee dengan
cepat menyambar Arabella dan menahannya agar tidak tenggelam. Wajah tampannya
memerah saat melihat keadaan Arabella yang lemas, diikat tangan dan kakinya,
serta disumpal.
Erato dan saudari saudarinya melepaskan ikatan tangan dan kaki Arabella,
sedangkan Lee dengan lembut dan sangat hati hati melepaskan kain yang menyumpal
mulut Arabella.
Arabella tersengal saat Lee melepaskan sumpalnya. Kedua tangan Arabella
merangkul leher Lee. Tubuhnya gemetaran dan Lee dapat melihat bahwa gadis itu
habis menangis.
“Bells.” panggil Lee lembut sambil terus
berusaha menjaga agar mereka tetap mengapung. “Kau akan baik baik saja, oke?
Tenanglah. Aku akan membawamu ke darat. Erato dan saudari saudarinya akan
membantumu dan aku berenang ke sana. Lalu setelah itu Vala akan merawatmu
sampai kau merasa sehat lagi. Kau dengar aku kan, Bells?”
Arabella mengangguk pelan sambil masih gemetaran. Lengannya masih merangkul
erat Lee. Dia nampak masih syok dan ketakutan.
Perlahan, Lee berenang ke tepian sambil terus menahan tubuh Arabella.
Dibiarkannya Arabella terus berpegangan erat pada dirinya. Erato dan saudari
saudarinya menjaga keseimbangan mereka selagi berenang ke tepian.
Vala menunggu di pinggir danau dengan was was. Nico duduk bersandar di
sebuah pohon ditemani si gadis Aphrodite. Lacy.
Pikir Lee tiba tiba. Dia ingat sekarang. Nama gadis itu Lacy. Mengetahui bahwa
Arabella sudah aman dan berada di sisinya membuat Lee bisa berpikir lebih
jernih.
Vala membantu Lee dan Arabella naik ke tepian. Gadis itu segera memapah
Arabella ke dekat pohon lain dan menyandarkannya sambil mengucapkan kata kata
menenangkan. Dia meletakkan tangan di kening Arabella dan mulai menyenandungkan
himne penyembuh Apollo.
Lee berdiri sambil memandangi Arabella. Dia berterima kasih pada Erato dan
saudari saudarinya, namun dia tak mengalihkan pandangan dari Arabella. Dia
hanya menatap Arabella dari jauh, tidak juga mendekatinya.
Di kepala Lee muncul berbagai pikiran dan pertanyaan dengan serabutan. Akankah Bella baik baik saja?
Apakah dia mengalami trauma? Aku harusnya bisa membantu Vala memulihkannya
namun aku tak bisa bergerak. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terlalu
marah. Siapa yang tega melakukan itu pada Bella? Bagaimana bisa ada orang yang
tega? Bella begitu baik, bagitu menawan... Jika aku tahu siapa yang berani
melakukannya... aku akan menjamin dia takkan selamat dariku. Tidak akan sampai
dia mendapatkan hukuman yang setimpal.
Lee lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya. Berusaha menenagkan
dirinya sendiri. Aku harus
berpikir jernih, aku tak boleh bertindak sembarangan. Tapi demi Apollo yang
mulia, aku... aku sangat takut. Untuk sesaat yang mengerikan tadi, saat aku
tahu Bells ada di dalam peti itu, terkurung, sendirian, sulit bernapas... aku
takut. Bahkan lebih takut daripada saat para Dracaena menyerang perkemahan. Aku
takut, sangat... aku takut kehilangan Arabella...
Saat itu pandangan Lee bertemu Arabella. Lee memandangya, lekat. Seolah memastikan
bahwa itu memang Arabella-nya. Memastikan bahwa dia sudah di sana dan selamat,
bahwa dia tak lagi terombang ambing di tengah danau, terkurung dalam peti
dengan tangan-kaki terikat serta mulut disumpal.
Arabella sudah aman.
>>>>>>>>
Arabella
Arabella memalingkan wajahnya dan berkonsentrasi pada rasa hangat serta
menenangkan yang menjalari seluruh tubuhnya berkat senandung Vala. Dia jengah
akan pandangan Lee yang begitu lekat.
Aku pasti jelek sekali, desah Arabella dalam hati. Aku tak tahu lagi apa yang
dipikirkannya tentangku. Aku sangat berantakan dengan rambut lepek dan baju
basah kuyup tak keruan dan oh, Aphrodite tahu apa lagi yang begitu buruk
dariku.
Belum lagi mengingat tadi aku begitu panik sampai sampai aku merangkul Lee
dengan begitu erat. Dia pasti risih, mungkin dia terganggu, dan mungkin jengah,
dan, oh, Arabella Deshoulieres, kau memang demigod paling kacau yang pernah
ada.
Jika kupikir sebelumnya masih ada kesempatan agar Lee bisa tertarik padaku,
maka kali ini benar benar tak ada kesempatan lagi.
Tapi... pikir Arabella lagi, wajahnya agak memerah. Setidaknya momen terakhirku ini tak
begitu buruk. Lee datang untuk menyelamatkanku. Meskipun aku takkan pernah bisa
membuatnya menyukaiku, setidaknya momen tadi bisa jadi pengobat hatiku.
“Nah, kurasa kau sudah baikan. Wajahmu sudah
tak sepucat tadi.” ujar Vala pada Arabella, mengejutkannya dari lamunan.
“Eh, iya. Terima kasih banyak, Vala.” jawab
Arabella sambil membalas senyum Vala.
“Tak usah berterima kasih padaku. Lee-lah
yang membantumu.” ujar Vala sambil mengedikkan kepalanya ke arah Lee yang
berjalan mendekati mereka. “Maafkan aku, namun aku harus pergi sekarang.
Temanku Nico juga sedang tidak sehat. Lee akan menjagamu. Aku pergi dulu,
sampai jumpa Bella.”
Arabella berusaha memandangi Vala dan Lacy yang memapah Nico menjauh, namun
ekor matanya tak bisa meninggalkan Lee. Arabella berusaha merapikan diri
seadanya tanpa ketara. Kejadian menyelamatkan-merangkul-berenang-bersama tadi
membuat Arabella makin gugup di hadapan Lee.
“Hei.” panggil Lee sambil berlutut di
sebelahnya. Salah satu sudut bibirnya lebih naik dari yang lain. Membentuk
senyum-agak-miring yang sangat Arabella sukai.
“H-hai.”
“Kau sudah baikan?” tanyanya. Mata Lee masih
menatap Arabella lekat. Membuatnya tertunduk malu sambil dengan gelisah
memainkan ujung kausnya.
Jangan pandangi aku saat jelek begini dong,
keluhnya.
“I-iya. Jauh lebih baik. Eh, terima kasih
banyak. Sudah... menyelamatkanku tadi.”
Arabella melihat wajah Lee menggelap dan senyumnya memudar.
“Bagaimana kau bisa berakhir seperti itu?”
tanya Lee. Wajahnya keras dan Arabella dapat merasakan bahwa Lee sedang marah.
Seorang Lee Fletcher. Marah.
Aduh, apa yang Bella katakan atau perbuat sih tadi?
“Siapa yang membuatmu seperti itu?” tanya
Lee lagi.
“Eh, itu...” Arabella menelan ludah dengan
gugup dan menceritakan kejadian sebelumnya pada Lee. Merasa sedikit pusing saat
mengatakannya. Charmspeak Drew masih bercokol di kepalanya sekalipun
sudah cukup lama berlalu dan Vala sudah memulihkan dirinya.
Arabella dengan ngeri menyadari bahwa wajah Lee semakin keruh saat
mendengar cerita Arabella.
“L-Lee...?”
“Ayo, Bells, kuantar kau ke kabinku. Kurasa
lebih baik untuk sementara kau menginap saja di kabin 7. Vala bisa menemanimu.”
ujar Lee sambil memaksakan sebuah senyum.
Arabella mengangguk. Tak berani membantah Lee.
>>>>>>>>
Lee berjalan cepat sambil mencari Drew kemana mana. Tadi Arabella
ditinggalkannya bersama Vala yang sedang mengurusi Nico di kabin 7. Lee tidak
suka meninggalkan Arabella setelah apa yang terjadi. Dia ingin Arabella selalu
berada dekat dengannya. Tapi urusan dengan Drew ini benar benar tak dapat
ditunda lagi.
“Drew!” panggilnya keras. Gadis itu sedang
melenggak lenggok di dekat istal pegasus dengan baju zirahnya yang takkan bisa
digunakan untuk bertarung karena terlalu heboh.
Drew menoleh dan tersenyum senang, “Oh, Lee! Ada apa kau mencariku? Apa kau
merindukanku?” tanyanya sambil mengerling.
“Aku harus bicara denganmu. Empat mata.
Sekarang.”
Mata Drew bersinar senang, nampaknya dia benar benar tak melihat wajah Lee
yang jelas jelas tidak sedang mood mengajak seseorang jalan berdua untuk
kencan.
“Oh, baiklah. Kita ke ladang stroberi saja.
Di sana sepi. Para satir dan putra Dionysus sedang patroli.”
Sesampainya di ladang stroberi, Drew menoleh dan tersenyum pada Lee. “Nah,
apa yang mau kau bicarakan denganku, say?”
Lee menghunus pedangnya, “Hunus pedangmu.” perintahnya dingin.
Drew tergagap dan nampak sangat kaget, juga sedikit takut. “Lee, apa
maksudmu? Mengapa...?”
“Aku menantangmu untuk bertarung satu lawan
satu. Untuk membayar perbuatanmu pada Bella.” ujar Lee.
Sesaat wajah Drew berkerut mengerikan, lalu cepat cepat wajahnya dimaniskan
kembali. “Oh, Lee. Masa hanya karena aku sedikit menggoda adik kecilku kau jadi
marah seperti ini? Bella tidak apa apa kok. Aku kan hanya bermain main saja.”
ujar Drew dengan charmspeak-nya.
Lee mendengus merendahkan. Dia benar benar marah. “Charmspeak-mu tak
bisa mempengaruhiku. Aku adalah putra Apollo, sang dewa musik. Suara dan bunyi
adalah keahlianku.”
Wajah Drew nampak ngeri, lalu ekspresinya berubah menjadi sangat marah. “Kenapa
sih kau harus begitu marah hanya karena aku mengerjai Bella? Kan terserah
padaku aku mau melakukan apa. Kau tak ada hubungannya dengan ini!”
“Kau membuat bisa saja membunuh Bella! Tentu
saja itu urusanku!” Teriak Lee marah.
Drew menghentakkan kakinya dengan marah. Air mata mulai menggenangi
matanya. “Kenapa sih kau begitu peduli padanya? Kau itu milikku. Dan hanya milikku
seorang! Tak ada yang boleh mendekatimu, terutama ARABELLA!” Drew balas
menjerit.
“Aku tak pernah jadi milikmu, Tanaka.”
“Tapi kau selalu paling menyukaiku. Kau tak pernah menolakku!”
Lee terhenyak dan dia tersadar. Apa yang dikatakan Drew memang benar. Dia
selama ini tahu Drew menyukainya. Namun dia memang tak pernah menolak Drew. Dia
menurut saat Drew menggandengnya kemana mana, tidak menolak pemberian
pemberiannya, mengiyakan jika Drew ingin Lee menemaninya... Namun Lee kan tak
pernah suka pada Drew. Dia hanya berusaha bersikap baik pada Drew. Dia hanya
tak ingin Drew sedih dan sakit hati. Lee hanya berusaha bersikap sopan.
Satu satunya yang Lee sukai tetap Arabella.
Perlahan, Lee menurunkan pedangnya. Nada suaranya melembut. “Drew... aku
tahu. Maafkan aku. Aku juga salah. Aku tak pernah benar benar mengatakan padamu
bahwa aku tak bisa menyambut perasaanmu. Selama ini aku hanya berusaha bersikap
sopan padamu. Aku tak mau kau sedih. Tapi aku tidak menyukaimu. Maaf.”
“Tapi apapun alasannya, kau tak seharusnya
melakukan hal sejahat itu pada Bella, kau harus meminta maaf dan...”
“DIAAM!” Jerit Drew. “Beraninya kau...
beraninya kau menolakku. Aku adalah putri Aphrodite. Dewi cinta dan
kecantikan. Kau tak boleh... kau tak bisa...”
“Berhenti!” seru seseorang sambil terengah
engah. “Kumohon...berhenti. Sudah, lupakan saja kejadian ini, oke? Tak usah
diungkit ungkit lagi. Aku... aku tak apa apa kok.”
Bella, ujar Lee dalam hati. Gadis itu masih
memakai pakaiannya yang tadi. Rambut coklatnya yang panjang kini sudah kering,
menari nari dengan cantik di sekeliling wajahnya.
“Bells, apa yang kau lakukan di sini? Kau
harus istirahat.”
“Aku tak apa apa, Lee. Aku... aku sudah
memaafkan Drew kok. Asalkan... asalkan Drew berjanji tak akan mengerjaiku
lagi...” ujar Arabella sambil menatap takut takut ke arah Drew.
“Aku yang akan memastikan hal itu.” ujar Lee
sambil melangkah ke sisi Arabella. Matanya menatap tenang ke arah Drew.
Drew menatap Lee dan Arabella dengan marah. Lalu berlari meninggalkan
mereka berdua sambil terisak marah.
“Aku merasa bersalah karena sudah membuat
Drew sampai menangis seperti itu.” ujar Arabella menyesal setelah beberapa
saat. Drew sudah hilang dari pandangan mereka.
Lee menggelengkan kepala tak percaya sambil menatap Arabella. “Setelah
segala yang dia lakukan padamu, kau masih merasa bersalah hanya karena dia
menangis atas kesalahan yang dia lakukan?”
“Dia sangat menyukaimu, Lee.” ucap Arabella
pelan.
“Oh, aku lumayan yakin dia akan membuangku
setelah dia puas dan mencari pacar baru dalam waktu lebih cepat dari yang
dibutuhkannya untuk mengejarku.” Jawab Lee santai. “Lagipula, aku menyukai
orang lain.”
Arabella mengernyit. Oh
ya, naiad itu. Yang tadi juga membantuku dan Lee. Erato.
Arabella mengangguk dan memaksakan senyum, “Iya.”
Lee menatap Arabella lekat lekat lagi, membuat Arabella kembali jengah.
“Kenapa sih?”
“Aku bersungguh sungguh. Soal ucapanku,
maksudku. Aku akan memastikan tak
seorangpun, termasuk Drew, mengganggumu seperti tadi.” ucap Lee, sedikit
gugup, namun tak melepaskan pandangannya dari Arabella.
Wajah Arabella merona, kepalanya ditundukkan agar Lee tak bisa melihatnya.
Arabella bingung dengan perkataan Lee. Namun tak bisa dipungkiri bahwa dia
merasa sangat senang.
Belum sempat jantungnya berdetak dengan normal kembali, Arabella merasakan
Lee mendekat ke arahnya dan mengecup sekilas puncak kepalanya.
“Aku janji.”